[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 Juli, 2014.]
Tamu tahunan nan agung yang selalu dinantikan umat Islam kini mengetuk hati nurani kita lagi. Dari pagi sampai malam, orang saleh dan saleh-salehan akan menghindari makanan lezat, minuman menyegarkan, pengucapan kata-kata tak terpuji, perbuatan keji, dan bahasa Indonesia yang tidak atau kurang benar. Spamduk (lihat kolom ”Bahasa” terbitan 18 Januari tahun ini) akan mengotori ruang publik dengan sejumlah ucapan dan pesan moril, dan barangkali tingkat korupsi akan menurun sedikit untuk waktu terbatas. Masjid-masjid akan dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menunaikan salat sunah walaupun sehari-hari mereka jarang melangsungkan salat wajib. Ya, bulan puasa datang lagi.
Semestinya bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriah ini kita sebut bagaimana? Ramadhan? Ramadhon? Ramadlan? Ramazan? Romadlon? Romadhan? Ada peribahasa Swedia yang kira-kira berbunyi: ”anak yang disayang memiliki banyak panggilan”, tapi kita tidak bisa sembunyi di belakang kata-kata yang sok bijak dari benua lain. Mungkin kita ingin mengikuti ormas kesukaan kita dalam masalah penyebutan bulan puasa, sebagaimana kita ingin mengikuti cara-cara mereka menentukan awal dan akhir bulan. Hanya saja, ormas-ormas tidak konsisten dalam penggunaan kata. Begitu pula dengan koran dan stasiun televisi. Kiai, dai, dan khatib juga tidak konsisten. Bisa saja mereka semua tidak konsisten karena mereka tahu bahwa intisari bulan puasa tidak terletak pada cara penulisannya. Bisa saja mereka menyadari bahwa penyalahketikan tidak akan jadi rintangan bagi kaum yang ingin kembali ke fitrahnya. Bisa saja mereka menginsafi bahwa masalah ejaan tidak dibahas secara panjang lebar oleh Bukhari ataupun Muslim.
Di pihak lain, kita berhak merenungkan penyebutan bulan puasa ini, dan kita juga berhak memberikan rekomendasi. Kalau tidak, bisa jadi kita menemukan bentuk seperti Ramadzlon atau Romadlzoon dalam waktu dekat. Seperti biasa, tidak salah kalau kita menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mengikuti pola yang kita temukan di sana. Menariknya, kita menemukan bentuk yang tidak begitu sering muncul di Indonesia, yakni Ramadan. Dengan kata lain, semua vokal dalam kata ini ditransliterasi sebagai a, dan huruf kelimabelas (dad) dalam abjad Arab ditransliterasi sebagai d. Itu berarti bahwa huruf dad ini tidak dibedakan dalam penulisan bahasa Indonesia dari huruf Arab yang kedelapan, yakni dal. Ini dibuktikan dari, misalnya, kata fardu. Huruf d dalam kata ini tidak sama seperti huruf d dalam Ramadan, tapi penulisannya ternyata tetap sama. Ini juga berarti bahwa kata pertama dalam ormas NU dalam pandangan KBBI akan ditulis nahdatul dan tidak nahdlatul.
Huruf d dalam kata Idulfitri juga tidak sama seperti d dalam Ramadan, tapi tetap saja ditulis sepertid biasa. Hanya saja, sekali-kali jangan tulis ”Selamat Idul Fitri” dalam kartu Lebaran, SMS, atau pesan-pesan di media sosial. Mengapa? Karena idul bukan kata dalam bahasa Indonesia. Idul ini tidak bisa berdiri sendiri, dan dengan demikian tidak eksis sebagai kata, tapi mesti digabungkan dengan fitri atau adha. Id, di pihak lain, adalah kata yang baku, dan dengan demikian kita bisa salat id atau mengucapkan id mubarak tanpa kehilangan muka.
Nah, jika Anda sekarang sedang siap-siap untuk membuat spamduk, mohon pilihlah ejaan berikut untuk kreasi Anda: Ramadan, salat, tarawih, Idulfitri, hadis, daif, dan wudu.
Mohon maafkan batin dan lahir saya.