[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 Agustus, 2017]
Tidak jarang akhir-akhir ini, saya menemukan kata piknik di Indonesia. Mungkin dari dulu memang sudah lazim dipakai, hanya saya saja yang kurang memperhatikannya. Karena juga terdapat dalam bahasa Swedia (dalam bentuk picknick), kata ini tidak terasa asing bagi saya, malah sebaliknya. Namun, cara pemakaiannya di Indonesia agak berbeda dengan pemakaian di tempat-tempat lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, piknik ini adalah kata kerja. Ini sudah agak berbeda dengan bahasa-bahasa lain, yang menganggapnya sebagai kata benda. Penjelasan yang disampaikan KBBI adalah ”bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dan sebagainya; bertamasya”. Tesaurus Bahasa Indonesia, memberikan pemahaman yang agak lebih luas lagi: ”berdarmawisata, berekreasi, berkelana, berpelesir, berpesiar, bertamasya, berwisata, dolan, jalan-jalan, melancong”.
Mari kita izinkan diri mencari asal-usul kata ini sejenak. Kata piknik ini berasal dari bahasa Perancis, dan pertama kali tercatat pada abad ke-17 sebagai pique-nique. Artinya sendiri tidak terlalu jelas, tapi sebagian orang mengatakan bahwa pique berasal dari piquer yang berarti ’memetik sesuatu’, dan nique yang artinya ’yang tidak terlalu penting’. Sebagian lain meragukan etimologi ini. Bagaimanapun, pique-nique ini dipakai untuk menggambarkan kegiatan makan-makan di alam terbuka dalam suasana santai, dengan pemahaman bahwa setiap orang yang datang juga akan berkontribusi dengan makanan yang bisa disantap bersama.
Setelah Revolusi Perancis pada tahun 1789, taman-taman kerajaan bisa diakses orang biasa, dan kegiatan pique-nique sering diadakan di sana. Kalau katanya sendiri dimasukkan ke mesin pencarian Google bagian gambar, maka gambar yang paling sering muncul adalah gambar yang berisikan selimut atau taplak merah-putih, anggur, roti dan buah-buahan. Dalam benak saya, dan juga orang-orang Swedia atau Eropa lainnya, ini adalah piknik yang sesungguhnya: sebuah pertemuan di alam terbuka ketika para peserta bisa menikmati bekal makanan yang sudah disiapkan bersama dalam suasana santai. Maka, piknik itu tidak terlalu jauh dari rumah, karena memang hanya kegiatan pergi sebentar untuk makan siang atau bersantap-santap dan bersantai-santai pada sore hari, di suatu tempat yang barangkali menyediakan pemandangan alam yang menarik. Kami sekeluarga sesekali berpiknik di pantai yang letaknya hanya lima menit dari rumah.
Kalau kita kembali ke KBBI dan TBI, maka kelihatan bahwa pemahaman dan pemakaian di Indonesia agak berbeda. KBBI memastikan bahwa para peserta harus ke luar kota (jadi taman atau pantai di dalam kota tidak cukup sebagai tempat piknik), tapi masih mencantumkan ”bekal makanan”. Bagi TBI di lain pihak, bagian makan-makan ini tidak tercantumkan, dan piknik disinonimkan dengan jalan-jalan atau berwisata secara lebih luas, mungkin di dalam kota dan mungkin juga di luar kota atau bahkan luar negeri.
Ketika saya membaca judul berita mengenai istri-istri para politikus yang ”piknik ke luar negeri” (sedangkan suami-suaminya tidur di gedung DPR) atau artikel yang membahas cara-cara ”piknik ke Thailand” secara murah nan asyik, maka saya tidak perlu bingung dan cemas lagi. Sebelumnya, kalimat-kalimat seperti ini cukup mengganggu saya sebab piknik adalah kegiatan makan bersama dalam suasana santai tidak terlalu jauh dari rumah dalam benak saya, sedangkan bahasa Indonesianya ternyata sudah mengembangkannya supaya artinya jauh lebih luas dan kira-kira sama dengan jalan-jalan. Apakah perkembangan ini berguna atau tidak, barangkali bisa diperdebatkan, tapi yang pasti sudah terjadi pergeseran makna yang cukup signifikan. Pemahaman orang seperti saya juga perlu digeser supaya lebih cocok dengan kenyataan.