Meja Ramadhan

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 10 November 2006.]

Dalam beberapa tahun terakhir ini kehadiran agama dan orang Islam di Swedia makin kelihatan di ruang publik. Perempuan berjilbab dan lelaki berpeci tampak di setiap kota. Masjid sudah dibangun di pelbagai tempat. Kehadiran Islam ini paling kelihatan di bulan puasa. Radio Swedia mengadakan acara khusus menyambut Lebaran. Toko pun ikut-ikutan meraih untung dengan menyiapkan pojok khusus Ramadhan yang menggoda selera orang berpuasa.

Di pihak lain, dalam pemilu terakhir di Swedia September lalu, Partai Demokrat Swedia yang terkenal dengan pandangan negatifnya terhadap orang asing (orang Islam khususnya) mendapat dukungan cukup besar di sejumlah daerah. Partai ini—dan para pendukungya—tak menginginkan kehadiran Islam di Swedia.

Suka tak suka, kehadiran Islam di Swedia telah mulai memengaruhi bahasa di Swedia. Menariknya, pengaruh ini berdampak kepada orang Islam maupun non-Islam. Orang-orang non-Muslim di Swedia, kini, sudah lumayan biasa menggunakan kata Ramadhan, Eid, dan Id al-Fitr. Mereka pun memiliki paham (yang cukup dangkal tapi tetap) mengenai konsep ini. Maka, orang Islam semakin mudah disetujui permintaannya mengambil cuti selama Lebaran dan sekolah makin sering membiarkan murid Islam libur selama akhir bulan puasa.

Orang Islam sendiri yang menerapkan konsep budaya dan agama mereka di Swedia juga mulai mengalihkan konsep ini ke dalam kerangka budaya Swedia. Berbarengan dengan ini, mereka juga tuangkan konsep itu dalam bahasa Swedia dalam bentuk yang sudah dikenal orang Swedia (non-Islam). Maka, sekarang dikenal kata seperti Idklappar dan Ramadanbord dalam bahasa Swedia. Yang pertama berarti ’hadiah Id’ atau ’kado Lebaran’ dan sangat mirip bunyinya dengan kata julklappar yang artinya ’hadiah Natal’. Yang kedua berarti ’meja Ramadhan’ dan memiliki padanannya dalam kata julbord yang artinya ’meja Natal’, yang sangat disukai orang Swedia sebab merujuk kepada sebuah rijsttafel menggoda dengan hidangan khas Natal yang dimakan sebelum, selama, dan sesudah perayaan Natal.

Efek dari penggunaan bahasa demikian berlipat (setidaknya) tiga. Pertama, semua orang yang bermukim di Swedia dibekali kata-kata yang dapat dipakai dan dimengerti tanpa menghiraukan batas etnis dan agama. Kedua, anak-anak Islam tidak perlu merasa minder ketika teman non-Islam mereka dibanjiri hadiah dan hidangan Natal sebab mereka lebih dahulu diberi hadiah dan hidangan Eid. Mereka bisa mengatakannya karena memang tersedia kata yang pas. Ketiga, kalau semua orang dapat melihat bahwa idklappar kira-kira sama dengan julklappar dan bahwa orang Islam dan orang non-Islam memiliki sejumlah persamaan yang lain, maka pendukung Partai Demokrat Swedia kehilangan momentum. Langkah berikutnya tentu saja menyebarkan wawasan sampai pemilih ikut menikmati baik meja Ramadhan maupun meja Natal. Itulah tujuan saya dari tahun ke tahun.

Apa gunanya artikel ini bagi penutur bahasa Indonesia? Belum pasti ada. Namun, saya kira ada baiknya kalau orang dari golongan (agama, bangsa, budaya) yang berbeda sedikit berusaha menciptakan bahasa bersama. Pengertian ini jangan hanya dalam kosakata, tapi juga dalam konsep budaya atau agama yang melatarinya. Kalau ada pengertian demikian, orang dapat hidup berdampingan secara damai.

André Möller Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Leave a Reply