[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Agustus, 2019]
Beriringan dengan membangkitnya kesadaran bahwa iklim kita dan kesehatan Bumi cukup banyak dipengaruhi oleh emisi dioksida karbon dari alat-alat transportasi (terutama pesawat), muncullah beberapa konsep dan kata yang tergolong baru di Eropa. Lambat laun, kemungkinan besar kata-kata ini akan masuk ke dalam (bahasa) Indonesia juga. Mengingat itu, barangkali pantas kalau kita menengok beberapa alternatif sebelum penutur dan pekamus memeluk dengan erat secara langsung istilah-istilah tersebut dari bahasa-bahasa asing.
Bahasa Inggris mengenal setidaknya tiga istilah untuk menggambarkan liburan yang diisi dengan kegiatan dekat-dekat rumah (daripada diisi dengan perjalanan jauh ke luar negeri): staycation, holistay dan nearcation. Ketiga istilah ini adalah akronim. Yang pertama merupakan gabungan dari stay dan vacation, yang kedua dari holiday dan stay, dan yang ketiga dari near dan vacation. Cukup kreatif dan mudah dipahamo; berbeda dengan sejumlah akronim Indonesia. Penutur bahasa Swedia pun sudah menciptakan beberapa istilah dengan arti yang sama, misalnya hemester dan svemester, yang juga mudah dipahami. Yang pertama merupakan gabungan dari hem ‘rumah’ dan semester ‘liburan’ sedangkan yang kedua menyingkat Sverige ‘Swedia’ dan semester.
Untuk menghindari bahasa Indonesia “diperkaya” lagi dengan istilah asing, maka dapat diusulkan istilah seperti libunesia (liburan di Indonesia) dan libusantara (liburan di Nusantara). Mengingat Indonesia begitu luas, maka barangkali ada baiknya kalau istilah-istilah ini dijadikan lebih lokal lagi, karena bagaimanapun juga, perjalanan dari Sabang ke Merauke sama saja jauhnya dengan perjalanan dari London ke Teheran. Mungkin libuerah (liburan di daerah), liburinsi (liburan di provinsi), libulau (liburan di pulau (sendiri)) dan liburmah (liburan di rumah) bisa jadi alternatif.
Sebuah istilah lain yang sekarang sering kali didengar di Eropa berasal dari bahasa Swedia: flygskam. Kata ini direkam pertama kali oleh Badan Bahasa Swedia pada tahun 2018, dan sekarang dapat ditemukan dalam sejumlah bahasa Eropa lainnya, sebut saja flight shame (Inggris), flugskömm (Islandia), vliegschaamte (Belanda), dan flugscham (Jerman). Artinya adalah rasa malu yang diakibatkan oleh penerbangan, dan rasa malu ini tentu berasal dari kesadaran bahwa polusi pesawat bukan main. Mungkin malu terbang akan jadi istilahnya dalam bahasa Indonesia. Berhubungan dengan konsep ini, di Swedia juga telah lahir satu kata kerja baru, yaitu smygflyga. Artinya adalah ‘terbang secara diam-diam’ (supaya tidak kena malu terbang). Tidak mustahil, media sosial pada zaman mendatang tidak akan diisi oleh foto-foto tiket pesawat dan bandara lagi kalau musim liburan tiba. Sebaliknya, akan lebih bergengsi berlibur dekat rumah, sebab itu menunjukkan kesadaran akan lingkungan yang lebih tinggi.
O ya, belum lama (Juli, 2019) saya membaca istilah glamping di koran ini. Glamping ini adalah akronim Inggris dari glamorous camping yang sepertinya sudah siap diserap secara langsung oleh bahasa Indonesia. Sayang sekali, karena di sini ada kesempatan emas untuk menciptakan istilah bahasa Indonesia yang kedengaran lebih bagus lagi: kemah mewah. Lebih afdal, bukan?
Ngomong-ngomong, pada awal tulisan ini saya menggunakan istilah dioksida karbon, meskipun karbon dioksida jauh lebih umum dipakai di Indonesia. Tidakkah lebih tepat begitu, menurut tata bahasa yang berlaku?