[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 9 April 2005.]
BELUM lama ini sebuah koran Swedia ternama mengadakan lomba untuk menentukan kata apa dalam bahasa Swedia yang patut diberi julukan kata terindah. Lebih dari 700 usul diterima koran tersebut dan juri yang terdiri dari sejumlah profesor dan ahli bahasa akhirnya bersepakat bahwa hamna merupakan kata terindah dalam bahasa Swedia. Kata kerja ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tapi kira-kira berarti ‘sampai di sebuah tempat secara tidak terencana’. Yang mengirim kata ini melampirkan motivasi bahwa kita sebagai manusia selalu sampai di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan rencana awal kita. Mungkin saja betul.
Sebelumnya sebuah koran Jerman mengadakan lomba yang mirip. Koran ini pun menerima ratusan usul mengenai kata terindah dalam bahasa Jerman. Yang akhirnya menang ialah kata habseligkeiten.
Nah, mungkinkah menentukan kata terindah suatu bahasa? Masuk akalkah lomba-lomba seperti yang telah diceritakan secara pendek barusan? Ya dan tidak. Seperti ketika musik dan prestasi kesenian lainnya dijadikan ikut lomba, suara-suara kritis pasti muncul di mana-mana. Tidak jarang kita dengar bahwa tidak wajar mengadakan lomba musik sebab keindahan musik sendiri itu tidak statis dan obyektif, tapi lebih tepat subyektif dan berlokasi di telinga dan hati si pendengar saja.
Seorang penyair terkenal pernah mengatakan: keindahan terletak pada mata yang memandang. Di pihak lain, kontes-kontes musik sangat populer-baik di Indonesia maupun di negara-negara lain (Swedish Idol baru saja usai)-dan di dunia perfilman pun penghargaan dan kontes cukup biasa diadakan dan diberikan. Orang yang berhasil menyusun kata-kata dengan sangat baik pun dapat menerima penghargaan ternama dalam bidang kesusastraan, yaitu penghargaan Nobel, yang ngomong-ngomong hendaknya telah berada di tangan Pramoedya Ananta Toer.
Jadi, jika perlombaan dan penghargaan dalam bidang-bidang yang disebutkan di atas masuk akal, maka lomba mengenai kata terindah pun masuk akal. Yang penting dicatat, sebuah kata tidak bisa indah dalam diri sendirinya, tapi harus disertai motivasi pengagumnya. Dengan kata lain, tidak mustahil saya tidak bersetuju dengan juri Swedia bahwa hamna merupakan kata terindah dalam bahasa kami. Kata tersebut tidak memiliki arti dan sejarah yang sama bagi saya seperti bagi yang mengirimnya ke koran tadi.
Dengan demikian, pertanyaan berikut muncul: jika memang kata terindah suatu bahasa dapat ditentukan (meski secara tidak terlalu serius), kira-kira kata apa yang bisa diberi julukan terhormat itu dalam bahasa Indonesia?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Apalagi jika kata-kata lokal boleh ikut serta lomba itu, sebagaimana diperbolehkan dalam lomba Swedia. Yang pasti, sebuah lomba seperti itu di Indonesia berkemungkinan besar dapat meningkatkan kesukaan orang awam pada bahasanya, menyadarkan masyarakat mengenai harta yang tak habis tergali yang mereka miliki secara bersama-sama dan mengembangkan bahasa nasional lebih lagi. Mungkin saja koran Kompas bersedia menyelenggarakan, umpamanya, Lomba Kata Terindah Bahasa Indonesia.
Pertanyaannya tetap menghantui pemikiran saya: kira-kira kata apa yang patut disebut kata terindah dalam bahasa Indonesia? Sebagai orang asing dengan pemahaman bahasa Indonesia yang sangat dangkal dan jumlah kosakata yang sangat terbatas, saya cenderung memilih kata matahari yang cukup puitis. Matahari kan memang ‘mata hari’.
Kata lain yang saya sukai ialah matasapi yang agak lucu. Bunyi pelangi juga sangat sulit untuk tidak disukai menurut saya, mungkin karena kedekatannya dengan bunyi plong yang juga merupakan kata kesukaan saya. Lebih lanjut lagi, saya suka bunyi kata majalah dan juga suka bahwa baterai disebut pula batu.
O ya, hampir lupa, saya suka semua kata ulang seperti desas-desus, mondar-mandir, bolak-balik, ceplas-ceplos. Akhirnya, kata cemplung juga enak didengar!
André Möller
Pengagum Bahasa Indonesia, Tinggal di Lund, Swedia