[Tulisan ini pertama kali dimuat di Majalah Tempo pada edisi 01 Februari 2019]
Pada akhir tahun 2018 lalu, saya menyempatkan diri berlari di Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman dalam rangka Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day dalam BIB- Bahasa Indonesia Baru). Alangkah asyiknya berlari dengan bebas di pusat kota sampai Blok M dan kembali lagi untuk swafoto di Bundaran Hotel Indonesia sebelum sampai di Monumen Nasional lagi. Tidak jauh dari Sarinah, lelarian saya tiba-tiba terhenti sebab saya melihat papan di pinggir jalan yang bertuliskan: “Kamu gendut? Kami punya solusinya!” Saya terperanjat, dan merasa terpaksa berhenti dan memfoto tulisan canggung ini. Kalau tulisan itu tidak difoto, anak-anak saya tidak bakal percaya, gumam saya sendiri. Tempatnya sepi. Tak ada satu orang pun yang datang ke situ untuk mengaku gendut dan minta solusi yang lebih kilat daripada berlari atau berolahraga lain.
Konon, “orang Timur” (entah itu siapa saja sebenarnya) itu sopan-santun, tahu diri, memiliki budi pekerti yang baik, dan bermoral dan beretika tinggi. Dalam berbahasa pun, katanya, orang Timur itu selalu menjaga lidah dan berusaha sekeras mungkin untuk menghindari mengganggu perasaan orang lain: kesusilaan dan keadaban harus dirawat setiap saat. Ketentuan atau kebiasaan ini berlaku secara umum, juga diterapkan secara luas dan komprehensif. Namun tak ada peraturan tanpa perkecualian.
Ternyata, kesopanan berbahasa ini tidak diamalkan ketika ciri-ciri badan seseorang sedang dibicarakan. Salah satu contoh tertulis terlihat di atas: “Kamu gendut?” Selain terasa tidak sopan menanyakan apakah seseorang gendut, saya kira pemasaran produk yang hendak dijual juga mesti dikatakan gagal. Susah dibayangkan orang berbadan besar datang ke sana dan mengaku gendut kemudian minta solusinya. Kata gendut juga muncul dalam percakapan sehari-hari.
Belum lama ini, saya sedang naik mobil di Jawa Tengah dengan beberapa orang (Indonesia) lain. Kami lewat sebuah sekolah menengah atas ketika seorang murid dengan badan yang lebih besar daripada teman-temannya keluar. “Wah, gendutnya!” seru salah satu penumpang dalam mobil. Yang lainnya mengiyakan. Untungnya, jendela mobil tertutup rapi. Untungnya juga, obesitas belum jadi kosa kata umum dalam perbincangan ringan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata obesitas ini berarti “penumpukan lemak yang berlebihan di dalam badan; kegemukan yang berlebih”, dan dugaan saya adalah bahwa kata ini akan semakin kerap kelihatan dan kedengaran pada masa depan. Menjadi orang yang terlalu kurus pun tidak baik, dan secara gamblang akan disebut orang cacingan, yaitu “menderita sakit karena banyak cacing dalam perut” dengan kata-kata KBBI.
Masalah warna kulit adalah bidang lain di mana kesopanan berbahasa seolah-olah tidak berlaku lagi. Betapa seringnya kita mendengar (dan, barangkali, mengucapkan): “Dia tambah hitam, ya?” dengan nada tidak apresiatif. Anak saya yang perempuan berkulit terang, tapi kalau musim panas tiba dia gemar berjemur di bawah matahari untuk menggelapkan badan. Tindakan ini susah dipahami oleh orang Indonesia, dan tidak jarang mereka merasa mesti mengomentarinya. Mengapa orang ingin jadi hitam? Istri saya yang orang asli Jawa Tengah sering juga mesti menghadapi pertanyaan seperti ini ketika kami mudik: “Wah, sudah puluhan tahun di Eropa sana, kok masih hitam saja, ya?” Ada implikasi putih atau terang itu bagus, sedangkan hitam atau gelap itu jelek. Cukup ironis bagi masyarakat yang hidup di zamrud khatulistiwa ini, di mana matahari bersinar sepanjang tahun.
Ukuran badan secara umum dan ukuran hidung secara khusus tentu saja merupakan bidang lain, di mana kesopanan bahasa tak berlaku lagi. Pesek dan pendek tidak sebaik mancung dan tinggi, tapi selalu tanpa alasan yang jelas. Terkadang, komentar tak layak seperti ini dapat kita dengar: “Dia pintar masak, sih. Tapi, ya, pesek.” Seolah-olah ada hubungannya atau pengaruhnya satu sama lain. “Nah, menantu saya putih sekali, tapi sayangnya pendek”. Jelas kurang sopan, sebab pendek itu dinilai tidak baik dan juga diucapkan dengan nada merendahkan. Lagi-lagi tanpa alasan yang jelas.
Jadinya, supaya nanti tidak ada papan-papan baru sepanjang Jalan Thamrin yang bertuliskan “Kamu pesek? Kami punya solusinya!” atau “Kamu hitam? Kami punya solusinya!”, saya berharap kesopanan dan ketimuran juga dapat memengaruhi bahasa Indonesia, ketika ciri-ciri badan sedang dibahas. Itu pun kalau ciri-ciri badan tersebut perlu dibahas sama sekali. Sebenarnya sering tak perlu, saya kira.
Ngomong-ngomong, saya lumayan tinggi, cukup mancung, agak putih, dan tidak terlalu gendut.