[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 12 November, 2016]
Sekitar dua belas tahun yang lampau, koran ini memuat tulisan saya berjudul “Pakai Kes apa Kad?” Di dalamnya, saya antara lain membahas kosa kata asing yang semakin sering masuk ke dalam Bahasa Indonesia. Judulnya sendiri merupakan pertanyaanyang dilontarkan seorang petugas hotel yang berniat bertanya apakah saya mau membayar pakai kes apa kad. Sesungguhnya, dibutuhkan beberapa saat dan bantuan dari sang istri sebelum orang kampung seperti saya mengerti bahwa kes itu adalah uang tunai, sedangkan kad adalah kartu. Ketika itu, situasinya saya anggap lucu dan geli. Kini, saya termasuk orang yang agak terperanjat menyadari bahwa kes sudah jadi lema resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, walau masih ditandai cak (yaitu merupakan “kata ragam cakapan”). Kata lain, yang juga diberi label cak tapi tetap sudah masuh kamus akbar ini adalah skedul (daftar perincian waktu yang direncanakan; jadwal) dan kensel (hapus, batal, tunda).
Izinkanlah saya mendongeng sesaat:
Dahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga por (miskin) yang terdiri dari seorang mada (ibu) dan kidnya (anaknya) yang bernama Malin Kundang. Karena ahaynya telah meninggalkannya, sang mada pun harus bekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya. Malim adalah anak yang smart (pintar) tapi sedikit noti (nakal). Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada madanya yang sedari dulu bekerja keras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan di siti (kota) besar.
“Mada, saya ingin pergi ke siti. Saya ingin kerja untuk bisa help (bantu) mada di sini”, pinta Malin.
“Jangan tinggalkan mada, kid. Mada hanya punya kamu di sini,” kata sang mada menolak.
“Izinkan saya pergi, mada. Saya kasihan melihat mada terus bekerja sampai sekarang,” kata Malin.
“Baiklah kid, tapi ingat janga lupakan mada dan vilej (desa) ini ketika kamu sukses di sana,” ujar sang mada berlinang air mata.
Keesokan harinya Malin pergi ke siti besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelah beberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di siti rantauannya. Malin sekarang menjadi orang kaya yang bahkan mempunyai banyak kapal dagang. Dan Malin pun sudah merit (menikah) dengan wanita cantik di sana. Berita abot (tentang) Malin yang menjadi orang kaya sampailah ke madanya. Sang mada sangat senang mendengarnya. Dia selalu menunggu di bic (pantai) setiap hari, berharap anak si mata wayangnya kembali dan mengangkat derajat madanya. Tetapi Malin tak pernah kam (datang).
Ah, sudahlah.
Pertanyaan baik atau tidaknya perkembangan ini (yaitu diizinkannya pelafalan keliru kosa kata Inggris masuk KBBI), saya sepantasnya menyerahkan kepada para pakar bahasa yang pasti akan berbeda pendapat dan membahas masalah ini tanpa ada habis-habisnya. Di sini saya hanya ingin menggarisbawahi dua hal. Yang pertama adalah bahwa KBBI edisi-edisi berikutnya pasti akan terdiri dari sejumlah jilid kalau gairahnya masyrakat menggunakan kata-kata berbahasa Inggris mau ditampungkan di dalamnya. Yang kedua, saya ingin pertanyakan pemilihan kata yang masuk ke dalam kamus kebanggaan ini. Seperti sudah kita lihat, kes, skedul dan kensel sudah terpilih dan diangkat. Melihat keadaan ini, saya menggaruk-garuk kepala seolah-olah masih punya rambut dan bertanya-tanya mengapa kata seperti miting (rapat), wiken (akhir pekan), welkam dring (minuman selamat datang), rison (akal), kad (kartu) dan tritmen (perawatan) belum diizinkan masuk. Atau siti dan viljenya si Malin Kundang.