Undang-Undang Bahasa

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 25 September 2009.]

Sejak 9 Juli 2009 keberadaan dan penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang ”Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan”. (Penggunaan kata sambung dalam judul undang-undang itu sendiri mungkin bisa dibahas pada kesempatan lain.) Undang-undang ini, yang antara lain berdasarkan niat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan dan menunjukkan kedaulatan bangsa dan negara, serta menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bahasa, saya kira patut kita sambut dengan gembira dan semangat. Bahasa Indonesia dalam undang-undang ini disebut berfungsi sebagai jati diri bangsa dan kebanggaan nasional; juga dikukuhkan sebagai bahasa resmi NKRI.

Dengan demikian, bahasa Indonesia ”wajib” digunakan dalam pidato resmi para pejabat negara, ”wajib” digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional, ”wajib” digunakan dalam pelayanan administrasi, ”wajib” digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, dan ”wajib” digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Bahasa Indonesia juga ”wajib” digunakan untuk penunjuk jalan, fasilitas umum dan rambu umum, serta ”wajib” digunakan dalam informasi yang disampaikan melalui media massa. Pemerintah pun ”wajib” mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia.

Sampai di sini semua terdengar baik-baik saja, walau bagian yang membahas bahasa dalam undang-undang ini kalah rinci dibandingkan dengan bagian yang membahas Sang Merah Putih, ”Indonesia Raya”, atau Garuda Pancasila dengan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Bendera Indonesia disebut harus dinaikkan dan diturunkan dengan khidmat (sambil hadirin memberi hormat). Ada ketentuan khusus tentang penempatan bendera ini jika ada sejumlah bendera dari negara lain pada kesempatan yang sama. Begitu pula dengan lambang negara. Ketentuan yang mengiringi lagu kebangsaan juga banyak.

Khusus untuk bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, undang-undang ini menyampaikan sejumlah ”larangan” yang perlu diperhatikan masyarakat. Jika larangan itu diabaikan, undang-undang ini mencantumkan daftar ”ketentuan pidana”. Ketentuan pidana ini tak berlaku untuk penggunaan bahasa. Ancaman pidananya tidaklah ringan. Setiap warga yang menghina Sang Merah Putih harus siap dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Ketentuan yang sama berlaku untuk yang bertindak dengan kurang hormat terhadap lambang negara dan lagu kebangsaan.

Sayang sekali, tak ada larangan ataupun ancaman pidana untuk orang atau perusahaan yang memakai bahasa Indonesia tak sesuai dengan undang-undang ini. Maka, kata wajib saya lengkapi dengan tanda kutip di atas sebab wajib di situ tak sesuai dengan KBBI: ’harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan’. Bisa juga kewajiban ini dilengkapi dengan sejumlah pengecualian yang akan membuat undang-undang ini tak kena sasaran berhubungan dengan bahasa.

Harapan saya, penyalahgunaan bahasa pada kesempatan tertentu juga diancam dengan denda atau penjara. Maka, perusahaan yang ngotot menyebut produknya sebagai body wash daripada sabun akan saya laporkan. Pengembang perumahan yang bersikeras menyebut hasilnya sebagai Green Oasis daripada Wahah Hijau akan saya seret ke polisi juga. Cuma, takutnya kantor polisi terdekat masih hanya dilengkapi dengan tulisan Police.

6 thoughts on “Undang-Undang Bahasa

  1. Eris

    Salam kenal Mas atau Mr Andremoller,

    Saya sangat salut dengan pemahaman dan kemauan Anda untuk menggali bahasa Indonesia, saya sendiri sebagai anak dari negeri ini tidak terlalu faham terhadap seluk beluk bahasa Indonesia.

    Kalau saya boleh tanya, Anda sudah berapa lama menguasai bahasa Indonesia?

    Terima kasih.

  2. andre Post author

    Salam kenal juga.

    Terima kasih atas komentar yang menyemangatkan! Wah, saya belum menguasai bahasa Indonesia…. tapi saya mulai belajar pada tahun 1997 kalau tidak salah ingat.

    Salam,
    André

  3. ida mawardi

    Bos andre yang baik
    Terima kasih banyak atas perhatian bos kepada bahasa Indonesia, yang notabene bukan bahasa ibu bos.
    Awalnya aku tidak setuju ada UU-Undang Undang (bukan Uu – Undang-undang)yang mengatur tentang pemakaian bahasa. Seiring perjalanan waktu, justru aku sangat ingin UU tersebut segera diberlakukan.
    Alasannya, orang Indonesia lebih senang menggunakan bahasa asing dicampur bahasa Indonesia di tiap kesempatan sehingga membuat sakit telinga yang mendengarnya.
    Memprihatinkan lagi, khususnya dalam bahasa tulis, arti bahasa asing yang dipergunakan ‘keliru’ dalam konteks kalimat dimaksudnya, tulisannya pun tidak benar. Hal tersebut biasanya dilakukan oleh wartawan.Tetapi, itu berarti aku menguasai bahasa Indonesia dalam segala aspeknya, paling tidak aku berusaha untuk menggunakannya dengan baik sesuai kaidah bahasa.
    Pendapat aku sebaiknya wartawan menggunakan bahasa Indonesia dalam berita dan artikel di medianya yang berbahasa Indonesia, justru aku dianggap kaku. Mereka lebih senang menggunakan istilah asing, walaupun kata yang dipakainya salah makna dan salah posisi ditambah salah penulisannya.
    Untuk itu aku hanya bisa sedih sekaligus tertawa, bos.

    damai selalu
    ida

  4. yudi juniardi

    wah. sy salut dengan ulasan dan kupasan yang runtut dari Pak Andre. meskipun bukan orang Indonesia tetapi kemampuan nalar bahasa Indonesia melebihi orang Indonesia. Salam kenal Pak

Leave a Reply