[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 April, 2014.]
Saudara-saudara! Apakah pembaca yang budiman bisa saya anggap saudara saya? Ya bisa, karena salah satu arti saudara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sapaan kepada orang yang diajak berbicara”. Sejujurnya, kita tidak sedang berbicara di sini, tapi tidak salah kalau dikatakan bahwa kalian saya sapa dalam tulisan sederhana ini. Barangkali lebih tepat kalau kata berbicara dalam penjelasan KBBI tadi diganti berkomunikasi, sebab penjelasan seperti itu juga akan meliputi sapaan tertulis. Namun, bukan itu yang akan jadi pokok pembahasan di sini.
Seorang teman saya memiliki dua anak, satu lelaki dan satu perempuan. Teman saya itu lelaki, tapi anak-anaknya memiliki ibu yang tidak sama. Pertanyaan saya, hubungan di antara kedua anak ini harus disebut apa? Secara gampang, kedua anak ini adalah saudara sebab KBBI mengartikannya dalam penjelasan pertama sebagai “orang yang seibu seayah (atau hanya seibu atau seayah saja)”. Barang tentu, penggunaan bahasa seperti ini akan terasa inklusif dan ramah. Dilihat dari segi sapaan, hubungan di antara kedua saudara ini tidak dibedakan berdasarkan ulah orang tuanya. Tapi, dilihat dari segi lain, mungkin ada gunanya kalau kita bisa membedakan saudara yang seibu-seayah dengan saudara yang hanya seibu atau seayah. Nah, muncullah sebutan saudara tiri, yang artinya tidak lain selain “saudara seibu atau saudara seayah”. Rupanya justru itulah yang kita cari. Masalahnya selesai.
Atau? Mari kita tengok kata tiri dalam kamus akbar yang jadi teman setia ini. Tiri diartikan sebagai “bukan darah daging sendiri”. Lho, bagaimana saudara yang seibu atau sebapak bisa dikatakan “bukan darah daging sendiri”? Ada yang janggal di sini. Ibu tiri (yang selalu jahat dalam dongeng-dongeng) dengan jelas adalah ibu yang tiada hubungan darah dengan anak-anak yang diasuhnya. Jadi, memanggil saudara yang seayah dengan sapaan saudara tiri rupanya tidak tepat juga. Menurut pemahaman saya, saudara tiri adalah saudara yang tidak seayah dan juga tidak seibu, tetapi salah satu orang tuanya saudara A kini hidup bersama dengan salah satu orang tuanya saudara B.
Kalau kita cari-cari lagi, kita akan menemukan sapaan saudara anjing yang artinya “saudara seibu berlainan ayah”. Selain sapaan ini terasa cukup merendahkan dan tidak enak dipakai, tetap saja tidak bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan di antara kedua anak teman saya di atas, sebab mereka “saudara seayah berlainan ibu”. Saudara kandung pun tidak bisa dipakai karena mereka berasal dari kandungan yang berbeda. Sebutan saudara kandung ini juga tidak begitu membantu dalam membedakan jenis-jenis persaudaraan, sebab bisa meliputi baik saudara yang seibu-seayah maupun saudara yang seibu berlainan ayah.
Konstelasi keluarga pada zaman modern ini semakin beragam, dan keluarga inti jauh dari satu-satunya jenis keluarga yang kita temukan sehari-hari. Dalam bahasa Indonesia, sepertinya dibutuhkan sapaan yang mewakili bahasa Inggrisnya half-brother dan half-sister. Saudara tengahan? Saudara separuh? Entahlah.
Menarik dicatat, dalam bahasa ibu saya akhir-akhir ini sudah muncul beberapa sapaan untuk saudara tiri yang menjauhi kata tiri ini sebab terasa tidak enak dipakai (ingat dongeng-dongeng tadi). Di antaranya adalah saudara plastik dan saudara bonus. Dengan demikian, ada pula anak bonus, kakek plastik, sepupu bonus dan seterusnya.
Demikian, saudara-saudara.
Tulisan Mas Andre makin “nakal” saja. Hehe. Menarik sekali. Ngomong-ngomong, penulisan tanggal apakah memang “5 April, 2014” (dengan koma) begitu, Saudara? Terima kasih.
Haha, keliru ya, penulisan tanggal itu?
Kalau tidak salah, ada sinetron Norwegia yang berjudul Halvbroren (sudah tayang mungkin di Swedia?).
Kembali ke topik, istilah ‘saudara tengahan’ yang digagas terkesan seperti saudara tengah di antara beberapa saudara. Misal, anak ketiga dari lima bersaudara. Mungkin istilah ‘setengah saudara’ lebih tepat? Ataukah istilah ‘tiri’ perlu direvisi?