[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 11 November 2005.]
Sesuai dengan tradisi, tepat pukul 13 pada hari Kamis kedua dalam bulan Oktober, Akademi Swedia tahun 2005 ini juga mengumumkan peraih penghargaan Nobel sastra. Tahun ini pilihannya jatuh pada Harold Pinter, seorang penulis drama dari Inggris. Hal ini membuat saya refleksi sedikit atas nama orang. Dalam lingkungan Indonesia, nama Harold Pinter terasa cukup pas sebab sang pemenang penghargaan Nobel ini pasti pinter ‘pintar’. Namun, mungkin bukan saya saja yang selalu akan mengingatnya sebagai Harry Potter.
Di Indonesia umat Islam sering memberikan nama yang berasal dari bahasa Arab kepada anak-anak mereka. Maka, nama seperti Nuruljannah, Hidayat, Rizki, dan Taufik tidak jarang ditemukan. Gagasan di belakang pemberian nama ini tentu saja harapan bahwa nama-nama ini akan mengalihkan sifat dirinya kepada sifat si pembawa nama ini. Dengan kata lain, diharapkan supaya Nuruljannah bercahaya seperti surga sendiri, supaya Rizki tidak pernah mengalami kesulitan dalam menafkahi keluarga, dan supaya Taufik Hidayat selalu akan mengalahkan para pebulu tangkis dari Swedia dan Denmark. Ini semua seolah-olah sudah ditakdirkan melalui nama.
Dalam bahasa Swedia terdapat pula macam-macam nama dengan arti khusus. Nama petenis terkenal dari Swedia, Björn Borg, misalnya berarti Benteng Beruang. Seperti halnya dengan nama peraih penghargaan Nobel tadi, nama ini juga terasa cukup pas jika dipikirkan artinya. Olahragawan ini memang bertindak sebagai beruang dalam bentengnya. Di Swedia orang juga dapat bernama Stig ‘jalan kecil’, Rosenkvist ‘cabang mawar’, Sten ‘batu’, Berg ‘gunung’, Skog ‘hutan’, ataupun Warg ‘serigala’. Semua nama ini memiliki hubungan erat dengan alam (terbuka) yang begitu dipentingkan orang Swedia pada umumnya, dan terasa pula hubungan dengan masa lalu Swedia.
Keadaan dengan nama ini baru menjadi lucu ketika sebuah nama dalam suatu bahasa memiliki arti yang berbeda dalam bahasa yang lain. Nama Pinter merupakan contoh yang baik. Terasa sah-sah saja bahwa Pak Pinter ini dihargai. Perbandingan dengan sebutan seperti Pak Guru dan Pak Dokter susah dihindari. Dalam bahasa Swedia (dan pelbagai bahasa lainnya pula) terdapat nama Alis atau Alice. Berbicara mengenai Bu Alis dapat menimbulkan suatu pertanyaan saja: ada apa dengan alisnya? Nama keluarga saya sendiri (Muller) juga sering menjadi dan dijadikan bahan lelucon di Jawa. Namanya kok Molen? Nama depannya Pisang, ya? Emang enak dijadikan gorengan?
Ada nama yang dalam bahasanya sendiri tidak terasa pas jika artinya direnungkan sesaat. Permasalahannya, arti sebuah nama tidak selalu sesuai dengan sifat dan bentuk si pembawa. Misalkan seorang petinju atau satpam berbadan besar yang namanya Liljeblad, yaitu Daun Bakung. Atau, seorang perempuan kecil yang bernama Warg ‘serigala’. Bayangkan saja seorang Ibu Serigala yang saking kecilnya selalu dilewati orang lain dalam antrian di pasar, atau seorang Pak Daun Bakung yang menangkap lima preman dengan tangan satu. Tidak pas, rasanya.
Di Swedia kami punya kebiasaan yang terkadang terasa aneh berhubungan dengan nama. Di sini setiap hari merupakan hari suatu nama. Nama Bengt, misalnya, dirayakan pada tanggal 21 Maret, dan nama Silvia dirayakan pada tanggal 8 Agustus. Tanggal 10 Juli merupakan hari nama depan saya (yang bukan Pisang).
Lantaran nama-nama yang diberikan pada anak-anak berubah sesuai dengan zaman, kalender nama ini kadang-kadang perlu diperbarui. Nama-nama yang terdapat dalam kalender nama ini dari tahun 1901, misalnya, sekarang jarang sekali diberikan kepada anak-anak. Pada hari nama saya sekarang, seratus tahun yang lalu justru nama Canutus (yang belum pernah saya dengar) yang dirayakan.
Zaman kini ada yang mengusulkan supaya nama seperti Muhammad dan Aisyah dimasukkan ke dalam kalender nama ini sebab nama Islam sekarang semakin lumrah di Swedia. Namun, Pinter tidak bakal dimasukkan.
Penulis Sedang Menyelesaikan Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Landskrona, Swedia