[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 21 Agustus 2009.]
Seperti diberitakan sejumlah media massa belum lama ini, Sultan Hamengku Buwono X bertekad mewajibkan setiap pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta kabupaten/kota berbahasa Jawa saban Sabtu dalam aktivitas kerja. Alasannya tak lain selain mencoba melestarikan bahasa dan budaya Jawa yang dinilai banyak dipengaruhi bahasa dan budaya nir-Jawa. Niat ini barangkali patut diacungi jempol, tetapi tak susah juga melihat awan gelap yang mengancam kecerahan langit sehubungan dengannya.
Perbolehkan saya mengajukan beberapa renungan berhubungan dengan gagasan itu. Pada tahun 1998, saya termasuk mahasiswa yang menduduki kantor gubernur di Yogyakarta guna memperlancar jalan Sultan kepada jabatan yang beliau pegang sampai sekarang. Maka, renungan saya ini sekadar renungan belaka.
Pertama, sehatkah bila bahasa daerah dipaksakan kepada pegawai pemerintahan dari atas? Bukankah keinginan berbicara dalam bahasa tertentu harus muncul dari keinginan si penutur sendiri?
Kedua, bagaimana peluang orang asal luar Jawa (atau malah dari luar Yogya saja) bekerja di lingkungan pemerintahan DIY? Bukankah seharusnya jabatan pemerintahan terbuka bagi setiap warga negara Indonesia, meski tak bisa bertutur dalam bahasa Jawa? Benarkah kemampuan dalam bahasa daerah tertentu akan menentukan siapa yang layak mendapatkan pekerjaan?
Ketiga, tidakkah orang yang tak bisa berbahasa Jawa akan kesulitan jika hendak mengurus sesuatu di sebuah kantor pemerintahan pada hari Sabtu? Niscaya, para pegawai tak wajib berbahasa Jawa jika kelihatan lawan bicaranya tak bisa memahaminya, tetapi tetap akan meninggalkan perasaan tak sedap kepada si pendatang.
Keempat, mengapa ketentuan baru ini hanya berlaku untuk bahasa lisan? Apakah tulisan yang menggunakan aksara Jawa dinilai terlampau sulit, repot, dan menyusahkan? Kalau ya, pasti perasaan si pendatang yang tak bisa berbahasa Jawa secara lisan bisa dimengerti.
Kelima, mengapa bahasa yang dijadikan patokan kebudayaan Jawa yang harus dilestarikan? Untuk memperluas program pelestarian ini, saya mengusulkan Senin sebagai hari wajib makan gudeg, Selasa hari wajib pakai blangkon, Rabu hari wajib pakai nada dering karawitan, Kamis hari wajib naik andong ke kantor, dan Jumat hari wajib mengenakan kaos dagadu (kalau ini tidak dinilai kurang njowo).
Keenam, daripada satu hari per minggu menggunakan bahasa Jawa, bukankah lebih baik berniat menerapkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar pada setiap hari kerja? Ini tentu termasuk pidato dan lain sebagainya yang berasal dari para petinggi, termasuk gubernur.
Saya tak bisa mendukung gagasan Sultan dengan sepenuhnya. Meski begitu, saya memahami kekhawatirannya dan menjunjung tinggi niatnya. Di satu sisi, Yogyakarta merupakan jantung budaya dan bahasa Jawa (maaf, Solo). Namun, di sisi lain, kota pelajar ini juga merupakan semacam Indonesia mini dengan pendatang dari setiap penjuru nusantara. Keseimbangan ini jelas tak mudah dijaga, tetapi saya kira yang paling baik mengemban tugas ini adalah masyarakat (termasuk para pendatang) Yogya.