Meslota, Surat-e dan a-Belalai

SETIAP bahasa pasti mengalami perubahan atau perkembangan yang disebabkan oleh pengaruh bahasa lain, juga oleh perkembangan zaman dan situasi baru yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Maka, kita tidak perlu heran bila diberi tahu bahwa sebagian besar kosakata suatu bahasa terdiri dari kata- kata yang berasal dari luar wilayah penggunanya.

Mengenai bahasa Indonesia, keadaan seperti itu jelas sekali kelihatan. Kita dapat mengamati pengaruh yang kuat dari, misalnya, bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, dan Inggris. Hal semacam ini tidak ganjil atau aneh, tapi boleh dibilang merupakan hakikat suatu bahasa yang hidup. Jika tidak dapat berubah dan tidak dapat bergerak, bahasa sudah kehilangan arti dan mati.

Dalam era kita sekarang yang menyaksikan perubahan amat pesat serta globalisasi yang tidak dapat dihindari, hal ini semakin nyata.

Meski demikian, penulis berpendapat bahwa suatu bahasa-termasuk bahasa Indonesia-seharusnya tidak dibiarkan berubah dan berkembang liar. Selain dikembangkan, bahasa juga harus dilestarikan.

Mengapa begitu? Kita dapat amati bahwa meskipun kita hidup di zaman globalisasi, hal-hal yang bersifat sangat lokal semakin penting dan bermakna untuk penduduk suatu wilayah. Jadi, tidak betul anggapan bahwa globalisasi merupakan proyek meratakan bahasa dan kebudayaan dunia menurut ukuran standar (baca: Amerika). Setidaknya proyek seperti itu tidak bakal berhasil sebab ada juga kekuatan bermakna yang dapat kita namai lokalisasi. Perkawinan antara dua kata tersebut membuahkan kata glokalisasi. Dan ini, saya kira, merupakan hasil dari kesadaran bahwa bahasa, selain alat komunikasi, juga kebanggaan suatu bangsa yang secara emosional amat bermakna. Bahasa merupakan jati diri suatu kaum.

Jika ini betul, kita bisa yakin bahwa bahasa harus sekalian dikembangkan (globalisasi) dan dilestarikan (lokalisasi) supaya penuturnya tidak kehilangan jati diri dan kebanggaan nasional. Di negeri penulis, Swedia, ada kebanggaan di sebagian masyarakat terhadap bahasanya. Kata-kata dari luar negeri tidak diterima begitu saja. Hal serupa dapat diamati di Perancis dan Islandia yang memiliki dewan bahasa yang sedikit konservatif dalam aspek ini.

Tentunya bahasa kami juga banyak dipengaruhi oleh kata-kata dan ucapan-ucapan dari luar (terutama dari bahasa Inggris), tapi terdapat kecurigaan sehat di antara orang Swedia untuk menerima kata dan ucapan baru itu. Beberapa contoh mungkin dapat menjelaskan pendirian saya. Kata komputer sudah mendunia dan jadi kosakata baru dengan berbagai bentuk dalam serangkaian bahasa (meskipun tidak semua), bahasa Swedia justru tidak pernah mengenalnya.

Sebagai pengganti, kami menggunakan kata dator, yang tentunya berasal dari kata data, yakni informasi yang dikelola sebuah komputer. Dengan analogi yang sama, komputer dalam bahasa Indonesia mungkin bisa menjadi mesin pengelola data (atau meslota, sebab singkatan sangat populer), meskipun wilayah asal dua dari tiga kata tersebut di luar Asia Tenggara.

Dalam bahasa Swedia, kami juga tidak mengenal kata handphone (HP, hape), tapi menggunakan kata mobiltelefon, yaitu ’telepon yang dapat bergerak’. E-mail kami sebut e-brev ’surat-e’, atau kalau harus memakai bunyi Inggris setidaknya dengan ejaan sendiri: e-mejl. Tanda @ kami sebut snabel-a, yang berarti ’a-belalai’. Mirip toh? Lebih lanjut lagi, laptop kami sebut bärbar dator, yaitu ’komputer yang dapat dibawa-bawa’. Sudah barang tentu tidak saja kata-kata yang berhubungan dengan dunia komputer yang mengalami pengswediaan ini, meskipun bagian ini amat penting.

Di Indonesia terminologi komputer yang lengkap merupakan kebutuhan bahasa yang mendadak dan sebaiknya dibentuk dengan segera suatu dewan yang menerjemahkan istilah-istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia.

Jika itu ternyata merupakan tugas yang mustahil, ciptakanlah istilah-istilah baru yang sesuai dengan situasi kebahasaan di Nusantara! Pemakai komputer di Indonesia yang kemampuannya berbahasa Inggris terbatas akan merasa sangat berterima kasih.

ANDRÉ MÖLLER Mahasiswa S3 di Lund, Swedia, Sedang Menulis Disertasi tentang Bulan Ramadhan di Indonesia dari Pelbagai Sudut

Leave a Reply