Maraton

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 3 Mei, 2014.]

Beberapa bulan yang lalu, saya ikut sebuah lomba lari maraton untuk kali pertama. Lomba ini berlangsung pada malam hari pada musim gugur di Swedia. Jadi, teman paling setia selama 42,2 kilometer adalah kegelapan, kesunyian dan kedinginan. Selain sempat meragukan kesehatan mental saya berulang kali selama lebih dari 3,5 jam, saya juga sempat memikirkan kata maraton sendiri.

Menurut legenda, seorang pembawa kabar bernama Pheidippides ditugasi lari dari medan perang di kota Marathon ke Athena (ibukota Yunani) untuk menyampaikan kabar bahwa pasukan Yunani berhasil mengalahkan pasukan Persia. Ia mesti menyampaikan kabar ini dengan segera, supaya pemimpin Athena tidak membiarkan pasukan Persia memasuki kota Athena. Pertempuran Marathon ini berlangsung pada tahun 490 sebelum Masehi. Ceritanya, Pheidippides lari tanpa berhenti (walaupun habis ikut berjuang dalam pertempuran tadi), dan ketika sampai di Athena ia berteriak: Nikomen! atau Kita menang! Setelah itu, menurut legenda, ia langsung meninggal kecapaian.

Tentu, akurasi cerita ini diperdebatkan. Yang pasti, ada beberapa jalan dari Marathon ke Athena yang bisa dipilih seorang pembawa kabar. Jika Pheidippides memilih lewat jalur selatan (di sebelah selatan Gunung Penteli), ia lari kira-kira 40 kilometer (kalau tidak tersasar). Kalau dia lewat jalur utara, jaraknya hanya sekitar 35 kilometer, tapi ada kenaikan curam yang hampir lima kilometer panjangnya. Pada Olimpiade tahun 1896, lomba lari maraton dimasukkan sebagai acara untuk mengingat kemuliaan Yunani kuno, dan pada Olimpiade di London tahun 1908, jarak sebuah maraton ditetapkan jadi 42,195 meter.

Kata maraton atau marathon sudah jadi kosakata dalam hampir setiap bahasa di dunia ini. Bahasa Indonesia bukan sebuah kekecualian. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencantumkan maraton (tanpa “h”) baik sebagai kata benda dengan arti “perlombaan lari jarak jauh (10 km atau lebih)” maupun sebagai kata sifat dengan arti “terus-menerus (tanpa berhenti)”. Untuk arti pertama, saya mesti memprotes, karena KBBI seolah-olah setuju bahwa lomba lari (atau “perlombaan lari”) 10 km bisa disebut maraton. Bagi setiap orang yang pernah lari dalam sebuah maraton yang sebenarnya, ini sebuah penghinaan. Terus, sebuah jarak yang juga sangat lumrah dijadikan jarak untuk lomba adalah 21,095 meter, yakni setengah maraton, tapi gabungan kata ini tidak masuk KBBI sama sekali. Mungkin karena setiap jarak di atas 10 km adalah maraton menurutnya.

Pemakaian kata maraton dalam arti kedua (sebagai kata sifat) juga sudah jadi hal yang lumrah dalam beberapa bahasa. Maka, jangan heran kalau ada politikus yang “diperiksa secara maraton” setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi, atau kalau sejumlah pusat perbelanjaan di ibukota mengadakan shopping marathon (lengkap dengan “h” karena selalu berbabasa Inggris, dan karena “belanja maraton” akan terasa kampungan). Jangan heran pula kalau DPRD Yogyakarta membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) “secara maraton” ketika waktunya sudah menyempit.

Membahas ekonomi, belanja ataupun diperiksa oleh KPK tentu saja bisa bikin setiap orang berkeringatan. Tapi bagi kami, kaum pelari maraton, penggunaan ini tetap juga terasa tidak enak di hati. Masalahnya, tidak satu pun kegiatan di atas memerlukan latihan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Ya sudahlah. Sekarang fokus saya selanjutnya pada Copenhagen Marathon yang akan berlangsung pada tanggal 18 Mei mendatang.

Leave a Reply