[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 1 Maret, 2013.]
Pekan lalu saya secara pendek membahas idiom nyamuk pers dalam kolom bahasa ini. Walaupun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa tidak memberi penilaian atas termulia-tidaknya ucapan ini, saya mengizinkan diri berkesimpulan bahwa nyamuk pers jarang dipakai untuk menghormati para wartawan. Sebaliknya, ini adalah idiom yang agaknya merendahkan kaum pewarta.
Namun, para jurnalis tidak perlu berkecil hati karena adanya ucapan ini sebab masih banyak ucapan lain yang secara gamblang merendahkan kaum-kaum yang berbeda. Menariknya, tidak jarang ada hewan yang terlibat, seperti dalam ucapan nyamuk pers tadi. Kata politikus (yakni poli-tikus) barangkali bisa disebut sebagai ”kebetulan bahasa” (yang lucu), tapi kami boleh bertemu dengan sepupunya: tikus-tikus kantor. Iwan Fals sudah menggambarkan golongan ini dengan cukup tepat sebagai hewan/orang yang ”suka ingkar janji”, ”berenang di sungai kotor”, ”tak kenal kenyang”, dan ”cepat ganti muka”. Rupanya bukan kalangan terhormat ini, dan mungkin sebagian pembaca jadi teringat kepada lagu Fals berjudul ”Wakil Rakyat”. Kami juga kenal ucapan seperti kupu-kupu malam, kambing hitam, ular kepala dua, dan buaya darat. Idiom-idiom ini memiliki fungsi yang serupa: merendahkan martabat seseorang atau kaum dengan bantuan hewan. Selain itu, orang yang ingin kami cela dapat kami juga panggil monyet atau, lebih parah lagi, anjing.
Nah, ada apa dengan ucapan-ucapan ini? Sepertinya mereka tidak memiliki asal-muasal yang sama. Kambing hitam, misalnya, adalah penerjemahan langsung dari bahasa asing. Ucapan ini dapat ditemukan dalam beberapa bahasa Eropa (termasuk bahasa Swedia, Perancis, Spanyol, dan Jerman). Selain kambing hitam berbeda dengan kambing-kambing lain yang pada umumnya berwarna putih (dan dengan demikian tidak cocok dalam golongannya), kambing hitam juga selalu disalahkan (secara tidak wajar). Dalam bahasa Inggris, istilah lain untuk kambing hitam ini adalah scapegoat yang dengan lebih jelas menunjukkan bahwa kambing-kambing hitam dapat dijadikan tumpuan segala kesalahan. Barangkali bahasa Indonesia cukup unik dengan kata kerjanya mengambinghitamkan yang sinonimnya adalah mempersalahkan atau menuduh.
Ucapan-ucapan lain, seperti buaya darat, mungkin dapat kami perkirakan mencerminkan sebuah ketakutan terhadap alam dan satwa liar, yang setiap saat dapat menyusahkan atau malah menyengsarakan kehidupan umat manusia. Ke dalam kelompok ini dapat kami juga masukkan ular kepala dua, yakni orang munafik. Namun, ke manakah kupu-kupu malam? Ini rupanya bukan terjemahan langsung dari bahasa asing (sebab kupu-kupu malam dalam bahasa-bahasa Eropa adalah identik dengan ngengat), dan susah juga bayangkan bahwa kupu-kupu memantulkan ketakutan terhadap alam dan hewan liar. Barangkali ini hanya puisi bahasa, yang kerap kali muncul dalam bahasa Indonesia.
Adapun sejumlah nama hewan yang rupanya hanya bertujuan untuk menghina yang mereka mirip. Salah satu contoh adalah monyet belanda yang jadi nama lokal di Kalimantan untuk monyet Nasalis larvatus (bahasa Indonesianya adalah bekantan). Monyet ini memang memiliki hidung besar dan mancung (dan juga kelihatan agak lucu), jadi barangkali tidak salah kalau disebut monyet belanda. Secara tidak sengaja saya pernah mempermalukan pembawa kapal di sungai-sungai Kalimantan Selatan waktu saya bertanya-tanya mengenai monyet-monyet belanda ini. Barangkali ia pikir bahwa saya orang Belanda dan tidak begitu nyaman dengan istilah tersebut. Ngomong-ngomong tentang Belanda dan hewan, tahukah para pembaca apakah kucing belanda itu? Kelinci, ternyata.