[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 23 Desember, 2017]
Mengingat posisi geografis Indonesia, tidaklah mengherankan sering terjadi gempa bumi yang menggoyahkan tanah dan ketenangan batin dari Sabang sampai Merauke. Kekuatan fenomena alami ini pada umumnya dijelaskan dengan dibantu oleh skala Richter (SR), walaupun terdapat beberapa sistem lain juga yang terkadang dinilai lebih pas dipakai. Skala Richter ini dikembangkan oleh Charles Richter dan Beno Gutenberg pada 1935 di California, Amerika Serikat.
Gempa bumi berkekuatan di bawah 2,0 di SR tidak terasa, sedangkan gempa yang mencapai angka delapan atau sembilan bisa terasa di berbagai benua dan menghancurkan rumah, gedung dan fasilitas umum. Gempa bumi yang menyebabkan tsunami dahsyat di antara lain di Aceh pada tahun 2004 berkekuatan di atas 9,0 di SR. Gempa bumi segempar itu jarang terjadi.
Nah, ketika kita membaca (contohnya dalam koran yang Anda pegangi sekarang) mengenai gempa-gempa bumi yang terjadi di Indonesia ini, cukup sering tertemukan kata magnitudo dan bermagnitudo. Beberapa bulan yang lalu, misalnya, Kompas melaporkan bahwa kecamatan Lore Utara di Sulawesi Tengah “menjadi pusat gempa bermagnitudo 6,6”. Pada kesempatan yang lain (berhubungan dengan Gunung Agung di Bali), diwartakan bahwa “gempa terasa dengan magnitudo 3,2 SR”, dan akhir-akhir ini (berhubungan dengan gempa bumi yang terasa di sebagian besar pulau Jawa) diberitakan bahwa “Guncangan gempa dengan magnitudo 4,5 yang diikuti gempa susulan dalam rentang waktu kurang dari satu menit berkekuatan magnitudo 6,9 […] masih terus menimbulkan gempa susulan”.
Apakah magnitudo dan bermagnitudo ini? Saya menduga kata ini masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Inggrisnya magnitude. Asal kata ini dari bahasa Latin (gabungan dari magnus dan tudo), dan berarti kira-kira “ukuran” atau “kebesaran”. Maka, jelaslah bahwa para wartawan dengan menggunakan kata magnitudo ingin menggambarkan besar-kecilnya sebuah gempa bumi. Gempa bermagnitudo atau berkekuatan magnitudo 2.5, misalnya, tidak perlu meresahkan masyarakat, selain secara kebahasaan.
Sejujurnya, kata magnitudo ini tidak begitu “berbau Indonesia”, kan? Sebaiknya kita menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia sejenak. Ternyata magnitudo dalam arti yang saya kemukakan di atas sama sekali tidak terdapat di KBBI. Lema magnitudo memang tercatat, tapi dengan arti “ukuran derajat kecemeralangan bintang”. Penjelasan inipun didahului catatan “n Astron” yang menujukkan bahwa kata ini berhubungan dengan dunia astronomi. Bentuk bermagnitudo tidak tercatat.
Jadi, mengapa magnitudo dan bermagnitudo begitu sering kita jumpai dalam tulisan media masa mengenai seismologi (pergempabumian), dan apakah tidak ada cara lain untuk menggambarkan kehebatan suatu gempa bumi? Mulai dari pertanyaan kedua, ya tentu saja ada cara lain, misalnya: “Gempa bumi berkekuatan 3,5 di SR” atau “Gempa bumi dengan kekuatan 4,2 di SR”. Sejujurnya, pembentukan kalimat seperti ini juga sering kita jumpai.
Menjawab pertanyaan kedua (yakni mengapa para wartawan tetap memakai kedua kata aneh ini) agak lebih susah. Menggambarkan ketinggian sebuah gunung, misalnya, mereka tidak memakai kata altitudo. Guna mendeskripsikan kesunyian di puncak gunung tadi, mereka juga tidak memakai kata solitudo. Untuk menguraihakan rasa terima kasih yang barangkali dialami si pendaki gunung ketika sampai di puncak, mereka juga tidak memakai kata gratitudo. Berarti hanya ada satu penjelasan yang dapat diterima. Orang-orang yang mengotot memakai magnitudo dan bermagnitudo ini berhubungan dengan kedahsyatan gempa bumi ternyata terlalu banyak beratitudo.