[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 3 Agustus, 2021]
Akhir-akhir ini saya hampir tak berani membuka koran berbahasa Indonesia atau media sosial yang hanya diisi kabar duka dan warta yang gelap dan menyedihkan. Setiap hari Indonesia memecahkan “rekor” baru berhubungan dengan penyakit akibat virus korona baru atau Covid-19 dan koran-koran Swedia (dan negara-negara lainnya) pun tidak luput dari pembahasan mengenai situasi nahas di Indonesia sekarang. (Kata rekor, yang sebelumnya memiliki konotasi positif dalam benak saya, kini telah berubah maknanya.)
Salah satu kata yang sering muncul di media massa belakangan ini adalah kolaps. Diwartakan, antara lain, bahwa industri kesehatan “kolaps akibat Covid-19” (Kontan), bahwa “rumah sakit kolaps” (Kompas), dan bahkan sampai “Indonesia berpotensi kolaps” (Berita Satu). Pernyataan terakhir ini mudah-mudahan berlebihan. Kemenkes tidak setuju dengan pemakaian kata kolaps ini, dan lebih memilih kata overcapacity yang diterjemahkan sejumlah media sebagai “over kapasitas”. Ini pun dikritik karena dinilai tidak mencerminkan keadaan dan kenyataan yang sedang suram. Jelas bahwa kata dan cara pemakaiannya bisa diberi konotasi politik.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kolaps ini diberi dua makna, dan dua-duanya diberi tanda cak, yang mengisyaratkan bahwa kata ini termasuk “kata ragam cakapan”. Makna pertama adalah \’jatuh, roboh\’ dan yang kedua adalah \’pingsan\’. Keduanya kata kerja. Tesamoko juga memberi dua makna, yang dua-duanya ditandai cak pula. Namun, yang pertama dijelaskan sebagai kata kerja (“hilang semangat, pingsan, semaput (Jw), terlengar”), sedangkan yang kedua dijelaskan sebagai kata sifat (“ambruk, babak belur, bangkrut, benjut, berantakan, boyak, gulung tikar, habis, hancur, jatuh, pailit, remuk”).
Bahasa Indonesia menyerap kolaps dari bahasa Belandanya collaps. Bahasa Inggris mengenalnya sejak awal abad ke-17, dan asalnya adalah bahasa Latin medis melalui kata com- (\’dengan, bersama\’) dan labi (\’jatuh\’). Bahasa Inggris (dan sejumlah bahasa lain, termasuk bahasa Swedia) mengenal kolaps ini baik sebagai kata kerja maupun kata benda (tapi, bukan kata sifat), dan sebagai kata benda ia pada awalnya dipakai di dunia medis, khususnya dalam istilah kolaps paru-paru. Kemudian arti kata ini melebar dan dipakai secara lebih luas.
Mengapa kata kolaps dalam bahasa Indonesia tidak diangkat dari status cak sampai kata berterima, saya tidak tahu. Mengapa kata kolaps tidak diartikan baik sebagai kata kerja maupun kata benda, saya juga tidak tahu. Masuk akal kan kalau kita bisa berbicara mengenai “sebuah kolaps” (kata benda)? Kalau kita membaca koran-koran dengan lebih teliti, kita dapat melihat bahwa banyak wartawan juga sudah menyadari kebutuhan itu. Mereka cenderung membentuk susunan kata seperti “kolapsnya rumah sakit” dan “kolapsnya fasilitas kesehatan”, di mana “kolapsnya” dapat dikatakan berfungsi sebagai kata benda.
Bagaimanapun juga, selama kata kolaps ini masih dianggap sebagai “kata ragam cakapan”, barangkali tidak pas dipakai dalam konferensi pers berjudul “Kolapsnya Fasilitas Kesehatan dan Kematian Pasien Isolasi Mandiri” ataupun dalam judul-judul di koran. Terus, alternatifnya apa? Usul saya, ya ambruk (yang antara lain disinonimkan dengan “kolaps (cak)” oleh Tesamoko). Salah satu keunggulan kata ini adalah bahwa ia sudah biasa dipakai dalam berbagai bentuk, baik dalam kapasitas sebagai kata kerja (ambruk, mengambrukkan) maupun sebagai kata benda (ambrukan, keambrukan, pengambrukan). Covid-19 telah mengambrukkan fasilitas kesehatan kita. Keambrukan fasilitas kesehatan mengakibatkan kematian pasien yang sedang isolasi mandiri.
Terlepas dari masalah sepele ini, moga-moga Indonesia lekas bangkit lagi.