Ingat Pesan Ibu

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 12 Januari, 2021]

Sudah pasti bahwa setiap usaha ikhlas untuk mencegah penyebaran virus korona merupakan usaha terhormat. Dunia rupanya tidak pernah segelap ini sejak wabah flu spanyol merajalela sekitar seratus tahun yang lalu, dan kita tentu perlu memerangi ancaman baru ini bersama-sama. Meski begitu, ada cara menyampaikan informasi yang bisa dinilai baik, dan ada kebalikannya.

Ketika saya menjadi pengontrak rumah pertama kali di Yogya lebih dari dua puluh tahun yang lalu, Ibu yang menyewakan hunian sederhana itu mengajarkan strategi 3M kepada saya. Dengan bangga dan terang, dia menjelaskan bahwa penyakit demam berdarah dan malaria (dan nyamuk secara umum) bisa diperangi melalalui 3M: menguras, menutup, mengubur. Dari awal saya tidak begitu diyakinkan oleh strategi ini dari segi bahasa. Soalnya, saya baru saja menyadari bahwa hampir semua kata kerja dalam bahasa Indonesia bisa diawali oleh meN-. Dengan demikian, konsep 3M agak kehilangan relevansinya dan setelah sepuluh menit saya sudah lupa akan penjelasan Ibu tadi. 3M? Membeli obat nyamuk, memakai kelambu, menyalakan obat bakar? Menarik selimut, memakai baju berlengan panjang, menghindari sungai kotor?

Setelah nyaris tidak kelihatan selama waktu agak lama, sekarang masalah 3M ini kembali muncul. Pada zaman wabah ini kita diingatkan oleh pemerintah serta berbagai instansi kesehatan agar kami selalu ingat “pesan Ibu”, yang kebetulan masih saja 3M. Memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Karena nyamuk masih berkeliaran dan menyebarkan berbagai penyakit, ini agak membingungkan. Dan masalah awal (bahwa kebanyakan kata kerja diawali dengan meN-), tetap ada. Dalam benak saya muncul macam-macam 3M yang dapat berguna: mencuci, membilas, menjemur (kunci untuk menjaga kebersihan baju), mengupas, mengulek, menggoreng (kunci menyiapkan bumbu), atau membawa bunga, memakai wewangian, mentraktir (kunci berkencan). Pendek kata, jika nyaris setiap kata kerja diawali meN-, maka sistem 3M (atau lebih banyak M lagi), terlampau umum. Hemat saya, diperlukan sesuatu yang lebih spesifik. Mungkin CIA lebih mudah diingat: cuci tangan, ingat jarak, ambil masker. Atau akronim seperti TAJAM: tangan (dicuci), jarak (dijaga), mulut (ditutupi masker).

Sebenarnya, ada satu masalah lagi dengan kampanye “Ingat Pesan Ibu” ini, yaitu pertanyaan: Siapakah Ibu? Saya mengerti bahwa maksudnya adalah mengedepankan sosok yang kita hormati dan kagumi, dengan maksud tersirat bahwa Ibu selalu paling tahu. Namun, tidak mungkin hanya saya saja yang bertemu dengan ibu-ibu yang jauh dari sosok ideal ini. Harus diakui, banyak ibu yang sering keliru, bahkan sesat. Maka, lebih baik mengatakan instansi yang sebenarnya berdiri di belakang slogan ini, yakni Kementerian Kesehatan.

O ya, saya memakai “virus korona” sebagai padanan corona virus di atas, dan saya kira istilah ini sudah cukup lazim dipakai di Indonesia. Namun, setahu saya belum ada padanan yang tepat untuk penyakitnya sendiri, yakni Covid-19. Tidak jarang corona dan covid digunakan seolah-olah mereka bersinonim, tapi itu tentu keliru. Covid itu singkatan dari corona virus disease atau ‘penyakit virus korona’. Bagaimana kita semestinya menyingkatnya agar tidak kepanjangan? Perusko? Itu seperti kita menuduh orang-orang Rusia tak bersalah. Pesona? Jangan, kan sudah dipakai. Pusko? Sudah dipakai juga (‘pusat komando’). Pevik? Mungkin.

Jadi, sekarang begini: “Ingat Pesan Menkes: Tajam agar tidak kena Pevik-19”.

Leave a Reply