[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 November, 2017]
Masyarakat Perancis terkenal bangga akan bahasa nasionalnya. Beberapa dasawarsa yang lalu wisatawan yang menyampaikan sesuatu dalam bahasa Inggris bakal diabaikan dan disurami, dan yang kurang fasih berbahasa Perancis dianggap kurang beradab. Zaman kini, hal ini sudah agak berubah, tapi masalah bahasa tetap sensitif di negeri bermenara Eifel ini. Beberapa tahun yang lalu hal ini diaktualisasikan di Kota Loches.
Kota Loches terletak sekitar 300 kilometer di sebelah selatan Kota Paris, dan dengan niat menarik perhatian para wisatawan, dinas pariwisata kota ini menugasi sebuah biro iklan menciptakan slogan baru untuk kota ini. Fenomena ini kita kenal di Indonesia juga. Sebut saja Yogya Berhati Nyaman, Sleman Sembada, Blora Mustika, atau Kudus Semarak. Nah, di Kota Loches, biro iklan tadi berhasil menciptakan slogan I Loches you,yang tentu saja merupakan pelesetan dari bahasa Inggrisnya I love you.Dinas pariwisata setempat bergembira dan menerima slogan baru ini seadanya.
Hanya saja, ternyata tidak semua warga masyarakat yang ikut senang dengan apa yang dengan nada merendahkan mereka sebut sebagai hasil Franglais, yaitu gabungan antara bahasa Perancis (Français) dan bahasa Inggris (Anglais). Selain menusuk rasa kebanggaan orang Perancis terhadap bahasanya, masalah mencampurkan bahasa Inggris dan bahasa Perancis di dunia periklanan ternyata juga sebuah pelanggaran undang-undang sejak tahun 1994. Muncullah pro dan kontra dengan intensitas debat yang tinggi. Bahkan, ancaman pembunuhan sempat disampaikan dalam perdebatan panas ini.
Organisasi Défense de la Langue Française (Pembelaan terhadap Bahasa Perancis), yang memiliki 60.000 anggota, membentuk kubu utama yang menolak slogan ini, sedangkan dinas pariwisata berdiri di seberang. DLF menolak pengaruh yang terlalu besar dari bahasa Inggris, sedangkan dinas pariwisata ingin sebuah slogan modern yang bisa menarik perhatian calon wisatawan asing beserta isi dompet-dompetnya.
Mendengar tentang kejadian di Kota Loches dan Perancis ini, saya jadi bertanya-tanya dalam hati apakah hal serupa, yakni polemik sengit gara-gara bahasa asing, dapat terjadi di Indonesia. Jawaban singkatnya: tidak. Bahkan, beberapa kota dan daerah sudah mencoba menginggris, misalkan Yogya (Never Ending Asia) dan Malang (The Heart of East Java). Ada undang-undang yang mengatur “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan” (UU Nomor 24 Tahun 2009), tapi bagian bahasa dalam undang-undang ini ternyata sangat lemah dalam pengimplementasiannya. Sejauh yang saya lihat, bendera atau lambang negara memang tidak bisa diinjak-injak tanpa susulan hukum, tapi bahasa masih bisa. Bahkan, setiap hari terjadi secara terbuka.
Mengingat ini semua, maka terbukalah sebuah kesempatan untuk menciptakan slogan-slogan baru untuk kota, kabupaten dan provinsi di Indonesia, untuk mendorong hasrat para wisatawan untuk menghabiskan waktu dan uang di situ (dan tidak di tempat lain). Bagaimana kalau Lovina mencetak stiker dengan tulisan I Lovina you? Atau bagaimana kalau Kudus menggantikan slogan yang lamanya (Kudus Semarak) dengan City of Kudos? Dan barangkali sudah saatnya Kabupaten Ende diberi julukan baru dan mulai memproduksikan kaos oblong dengan tulisan This is the Ende. Ketiga slogan baru ini saya sampaikan secara cuma-cuma. Dinas Pariwisata setempat tidak perlu mengeluarkan sepersen pun untuk slogan-slogan modern ini. Silakan.