JIKA pertanyaan Shakespeare mengenai kandungan suatu nama dijawab di Indonesia, dapat dipastikan bahwa jawabannya panjang lebar. Memang, baik nama orang maupun nama tempat (toko, sekolah, dan sebagainya) dipilih dengan sangat saksama di Nusantara. Keadaan ini disebabkan adanya harapan bahwa suatu nama akan membawa berkah jika dipilih dengan matang. Itu sebabnya, penyanyi dangdut yang lagi terkenal bernama Nurjannah dan bukan Narjunub, misalnya, dan toko sembako terdekat dinamakan Makmur dan bukan Malang. Ditambah lagi, tetangga kita bernama Pak Slamet dan bukan Pak Sakit, sedangkan perusahaan bus antarkota dinamakan Langsung Jaya dan bukan Langsung Bahaya.
Di Indonesia juga terdapat kebiasaan unik dan menarik memberi slogan atau julukan kepada setiap kota. Ternyata julukan-julukan ini sering tidak mencerminkan kenyataan, tapi ditempelkan pada nama kota dengan harapan akan membawa perkembangan, kemajuan, dan pengaruh yang berarti.
Perhatikan misalnya julukan yang diberikan kepada kota Kudus, yaitu Kudus Semarak. Bagi orang yang pernah mengunjungi kota jenang itu, mungkin bukan kesemarakan yang lekat di ingatan, tetapi kesemrawutan. Untuk mencerminkan realitas, julukan Kudus Semrawut dengan demikian lebih pas. Tentu saja para pejabat Kudus yang mencanangkan julukan semarak bagi kotanya menaruh harapan padanya. Dengan adanya julukan ini, kesemarakan dapat dinanti.
Di kota Yogyakarta terdapat dua julukan, satu berbahasa Indonesia dan satu (baru) berbahasa Inggris. Yang pertama berbunyi Yogyakarta Berhati Nyaman dan sering lengket pada nama kota kesultanan itu. Hanya saja, dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat dan kurang persiapan pemerintah daerah akan hal itu, Yogya sudah tidak terlalu nyaman. Ke mana-mana pergi, yang kita temukan pasti hanya kekacauan dan keramaian. Maka, jika dilihat dari segi realitas, mungkin julukan Yogyakarta Berhati Ganas atau Yogyakarta Berhati Kecil lebih tepat sekarang. Berhubungan dengan ini, julukan Inggrisnya, Never Ending Asia, lebih tepat diganti dengan Never Ending Traffic Jam.
Beberapa kota lain menunjukkan gejala yang sama. Harapan: Klaten Bersinar. Kenyataan: Klaten Bersimpang-siur. Harapan: Karanganyar Tenteram. Kenyataan: Karanganyar Tegang. Harapan: Rembang Bangkit. Kenyataan: Rembang Bangkrut.
Di era pemilihan presiden ini dapat dipastikan ada beberapa bagian masyarakat yang menyimak nama-nama calon pemimpin. Nama Megawati mengandung dua hal yang saling bertentangan. Di satu sisi mega itu julukan atau sifat seorang presiden yang tepat; memang, presiden sesekali perlu bermega-mega. Di pihak lain, kalau terlalu mega, apa tidak mungkin beliau sering-sering lupa sama rakyatnya? Ini suatu dilema yang perlu dicari solusinya oleh tim sukses presiden jika mau memenangi putaran kedua. Di pihak lain, beliau juga diberi nama belakang Soekarnoputri yang mengandung harapan begitu besar sampai mau meledak sendiri.
Popularitas Susilo Bambang Yudhoyono sudah dibahas dari berbagai sudut di koran-koran dan acara TV akhir-akhir ini. Namun, tak satu pengamat pun yang menyimak bahwa calon presiden ini dikenal dengan singkatan SBY, yang kira-kira dapat dipastikan sudah diberi makna sendiri oleh masyarakat pemilih. Jadi, jangan heran jika ada yang baca SBY seperti Supaya Bisa Yakin, atau Sangat Berpihak (pada) Yatim-piatu.
Nama calon presiden lain tidak terlalu bisa menarik perhatian para pemilih, seperti dapat dilihat dari hasil yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum. Namun, lima tahun lagi bakal ada pemilihan presiden lagi. Kepada yang hendak mencalonkan diri, kami mengusulkan supaya namanya diganti terlebih dahulu dan dimasyarakatkan secara besar-besaran. Khususnya kepada Amien Rais, kami usulkan penggantian nama supaya menjadi Amir Rakyat saja. Dan kepada calon-calon baru mohon dipertimbangkan nama-nama seperti Adil Selamat, Makmur Jaya, An Tikorupsi, dan Rak Yatdulu.
Yang terlihat jelas dari uraian ini ialah bahwa orang Indonesia menaruh harapan besar pada bahasa.
André Möller, Mahasiswa S3 tentang Indonesia di Lund, Swedia