[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 2 Juni 2006.]
Dalam kolomnya di rubrik ini pada 19 Mei lalu, pengamat bahasa Pamusuk Eneste membahas cara-cara Pramoedya Ananta Toer mengeja dan menulis kata-kata yang merupakan intisari karya sastra beliau. Artikel itu antara lain mengarahkan perhatian pada ungkapan baru yang dikedepankan Pram seperti seharmal (sehari semalam) dan sassus (desas-desus), dan juga kepada kebiasaan Pram menulis dua kata secara tergabung dalam satu kata gabungan. Contohnya, terimakasih, orangtua, dan sepakbola. Walau demikian, sejumlah kata tetap ditulis terpisah, misalnya kereta api dan mata sapi. Secara singkat hal itu pernah saya perhatikan pula dalam sebuah tulisan yang dimuat di rubrik ini juga (7 Agustus 2004). Susah atau mustahil mengerti mengapa Pram memilih menulis dengan cara ini.
Pamusuk merasa tidak yakin cara penulisan ini gaya Pram atau gaya penerbit, dan untuk edisi mendatang diusulkan agar “ditinjau ejaan buku-buku Pram” supaya “taat asas dan tidak membingungkan pembaca”. Bagi saya, sulit melihat mengapa sebuah penerbit mau mengubah sejumlah kata supaya tidak mengikuti tata bahasa yang baku. Lagi pula, walaupun ini merupakan campur tangan penerbit, setidaknya Pram sudah menyetujui perubahan-perubahan yang (kalau begitu) dialami naskahnya. Oleh karenanya, saya juga berharap penerbit tak akan melakukan peninjauan dan penyesuaian atas cara penulisan Pram pada edisi selanjutnya. Menurut hemat sederhana saya, penyeragaman seperti itu hanya akan menghilangkan kekhasan dan (sebagian) kekuatan karya Pram. Dengan kata lain, gayatulis Pram akan diubah menjadi gaya tulis baku.
Namun, bagaimana kalau gayatulis ini “membingungkan pembaca”? Ya, berarti Pram memang hebat dan berhasil. Apakah pembaca tidak rugi membaca karya sastra yang hanya membingungkan? Sebaliknya, wawasan kebahasaan mereka akan diperkaya. Apakah gayatulis Pram yang serba tidak baku dan kadang-kadang inkonsisten tidak menjengkelkan? Tisali (tidak sama sekali), karena gaya ini membuat para pembaca berpikir dan merenungkan bahasa dan pembaharuan bahasa mereka. Maka, penyeragaman dan pemerataan tidak perlu dan hanya akan mengurangi nilai-nilai karya Pramoedya dan menghilangkan kekhasannya. Ini yang tak jarang terjadi ketika karya Pram diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa non-Nusantara.
Dan ini mengingat saya kepada tanah air. Di negeri penulis sedang ada diskusi hangat sekarang mengenai kemampuan berbahasa Swedia para pendatang. Sering dikatakan bahwa pengetahuan tentang bahasa Swedia baku dan kemampuan menerapkannya sehari-hari merupakan kunci yang dapat membuka segala pintu masyarakat Swedia. Di sisi lain banyak pendatang tidak berbahasa Swedia secara baku, tapi “secara pendatang”, yakni dengan sejumlah kekeliruan tata bahasa. Bisa dikatakan bahwa “bahasa pendatang” ini ialah sebuah sosiolek baru di negeri penulis.
Buku perdana seorang penulis muda Swedia, Johan Hassan Khemiri, menggunakan “bahasa pendatang” ini, yang dengan demikian berisikan tulisan yang sama sekali tidak sesuai dengan tata bahasa baku. Meski demikian, buku ini banyak diperhatikan di Swedia dan sudah meraih sejumlah penghargaan, dan semua ini berkat cara penulisannya yang serba tidak baku. Andaikata gayatulis Khemiri baku dan “benar”, maka buku ini akan tenggelam di sungai buku-buku biasa dan tidak diperhatikan sama sekali sebab ceritanya memang tidak begitu istimewa. Yang istimewa justrulah bahasanya dan gayatulisnya.
Jadi, pendirian saya ialah bahwa gayatulis seorang penulis harus dijaga, dihormati, direnungkan, dan bahkan mungkin ditiru. Pembakuan dan penyeragaman harus dihindari dengan alasan: kebebasan mengekspresikan seni. Barang tentu pendirian saya ini hanya berlaku untuk karya sastra (termasuk naskah sandiwara, dan sebagainya) dan bahasa sehari-hari. Di luar bagian seni dan keseharian ini, saya seorang pendukung bahasa baku, dan tidak menginginkan naskah keputusan presiden, misalnya, memuat eksperimen-eksperimen kebahasaan.
Pendek kata, semoga kekhasan Pramoedya tetap dipertahankan, dan semoga penulis lain berani melawan kebakuan yang tidak selalu perlu dalam dunia seni.
Penulis Seorang Pengamat Bahasa. Tinggal di Swedia