[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 31 Agustus, 2013.]
Setiap orang yang pernah masuk pasar swalayan ataupun toko kecil di Indonesia dapat menarik kesimpulan bahwa susu bubuk merupakan bagian penting untuk setiap keluarga Indonesia yang salah satu anggotanya adalah anak kecil. Dalam iklan di media massa, susu bubuk ini digambarkan sebagai sumber kesehatan dan kepintaran dan kunci untuk segala kebaikan dan perkembangan. Tanpa susu yang benar yang diperkaya ini dan itu, anak Anda berisiko ketinggalan dari teman-teman dan nanti tidak siap menghadapi tantangan-tantangan lahir dan batin yang menunggunya di jalan kehidupan kelak. Toko-toko besar akan menyajikan puluhan meter di gang-gang sempitnya, yang hanya berisikan sejumlah produk susu. Saya tidak berani memikirkan jumlah uang yang diputar di dunia susu bubuk ini, dan saya juga tidak berani memikirkan peran dokter gigi dalam bisnis ini. Kan, susu yang hampir selalu manis ini juga memberi peluang (walau secara tidak langsung) kepada para dokter gigi. Sekarang saya di luar jalur kolom bahasa. Mari kembali kepada masalah kebahasaan.
Jika dilihat dari kegemaran ini terhadap susu bubuk, maka kami tidak perlu kaget kalau orang Indonesia juga sangat suka atau setidaknya sangat bergantung pada dot. Dot ini, seperti diketahui, adalah ’alat dari karet untuk menyusui bayi; puting karet penutup botol susu bayi’. Dari kata benda ini lahirlah kata kerja mengedot yang artinya adalah ’menyusu dengan dot’ (KBBI). Kata dot ini berasal dari bahasa Belanda, tetapi sudah jadi bagian integral dari bahasa Indonesia yang modern. Sampai di sini tidak ada masalah.
Hanya saja, sekarang dot-dot ini muncul di mana-mana, dan selalu jauh dari botol susu dan bayi lapar. Seperti pembaca yang budiman telah sadari, dot-dot ”baru” ini mencuat bersama dengan com, id, se, dan seterusnya. Stasiun radio yang menyiarkan berita dari luar Indonesia dalam bahasa Indonesia yang sering kali saya dengarkan selalu peka terhadap bahasa yang mereka pakai dan (hampir) selalu menyajikan bahasa Indonesia yang benar dan enak didengar. Akan tetapi, ketika para penyiar hendak memperkenalkan laman mereka di Internet, keterampilan mereka berbahasa Indonesia lekas sirna dan mereka mengedot dalam arti memakai kata dot di dalam alamat situs jejaringan mereka: dot com, dot co dot id, dan seterusnya. Masalah ini terdengar di mana-mana di Indonesia sekarang. Menariknya, dot id ini (yang selalu berhubungan dengan Indonesia) tanpa kekecualian dicuapkan ”dot ai-di” (seolah-olah lidahnya berasal dari Inggris atau Amerika) dan bukan ”dot i-de” seperti sepantasnya.
Kalau tidak boleh mengedot lalu harus nge-apa kalau hendak memperkenalkan alamat situs web? Ya, terakhir saya lihat, bahasa Indonesia masih mengenal kata titik. KBBI mengartikannya sebagai ’noktah (pada huruf, tanda, tanda baca, dsb)’ dan memberi contoh yang amat tepat: ”setiap kalimat berita diakhiri dengan tanda titik”. Edisi berikutnya barangkali dapat dilengkapi dengan contoh seperti ini: ”setiap alamat web mengandung setidaknya satu titik”. Sampai itu terjadi, saya khawatir pegawai-pegawai di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pun menyebutkan alamat mereka sebagai berikut: pusatbahasa dot kemdiknas dot go dotid (ai-di). Namun, ini hanyalah kekhawatiran saya; berkemungkinan besar para pegawai tersebut lebih gubris terhadap masalah kebahasaan di dunia yang serba elektronik ini.