PENTINGNYA demokrasi bagi kehidupan bangsa dan negara yang sehat cukup jarang dipermasalahkan. Diakui oleh segenap lapisan masyarakat bahwa demokrasi malah menjadi syarat untuk kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, dan aman. Diakui pula bahwa demokrasi mampu membawa rakyat ke masa depan yang lebih cerah dan lebih menentu. Tidak kalah juga gagasan bahwa demokrasi akan menyelesaikan segala permasalahan yang menghantui suatu negara dan rakyatnya.
Satu contoh dari Swedia, negeri kami, dapat menjelaskan maksud saya. Ketika Menteri Luar Negeri (Menlu) Anna Lindh dibunuh dengan sangat tragis beberapa saat lalu di sebuah pusat perbelanjaan ibu kota Stockholm, kaum politikus dan masyarakat langsung menyebutnya “penikaman terhadap demokrasi Swedia juga”.
Dengan kata lain, bukan saja Sang Menlu yang ditikam, tetapi sistem politik negerinya juga. Beramai-ramai orang mendiskusikan pengaruh kejahatan itu terhadap demokrasi Swedia dan mengkhawatirkan masa depan sistem politik terbuka ini. “Jika menlu saja bisa dibunuh di tempat umum pada siang hari,” demikian kata orang, “demokrasi Swedia menjadi demokrasi apaan, sih?”
Di Indonesia hal yang serupa, tetapi terbalik juga dapat diamati. Dengan runtuhnya pemerintahan Soeharto dan Orde Baru-nya tahun 1998, orang Indonesia menaruh kepercayaan yang kuat terhadap demokrasi dan apa yang dikandungnya. Dengan adanya sistem politik baru sebagai ganti rezim otoriter Soeharto, masyarakat Indonesia merasa penuh harapan dan bersedia menyambut masa depan dengan peluang terbuka.
Pemilihan umum diadakan dan rakyat ramai-ramai mencoblos. Presiden diganti. Akan tetapi, belum lama duduk di kursi kepresidenan, ia sudah diruntuhkan kembali. Presiden baru diangkat, tetapi lontaran kritik terhadapnya tak kunjung selesai. Sekarang lima tahun lebih sudah berlalu sejak Soeharto turun dan banyak orang sudah tak percaya lagi dengan apa yang disebut demokrasi (dan reformasi) itu.
Maka, kita merasa terdorong mendiskusikan kata demokrasi dari sisi kebahasaan. Kata itu merupakan gabungan dua kata bahasa Yunani, demos dan kratia. Kata pertama berarti ’rakyat’, sedangkan yang kedua memiliki arti ’kedaulatan’. Maka, demokrasi secara harfiah berarti ’kedaulatan rakyat’.
Jadi, kekuasaan sesungguhnya tidak terletak pada jabatan presiden atau calon presiden, tetapi lebih tepat di tengah-tengah masyarakat. Untuk merealisasikan hal serupa, diadakan pemilihan umum secara teratur dan terbuka, serta referendum (jika ada keperluan khusus). Demikian bisa dikatakan bahwa hakikat demokrasi ialah pemilu. Sebagai lanjutannya, pemilu ialah pesta demokrasi. Selain ini, terdapat beberapa aspek yang berhubungan dengan kata demokrasi, misalnya saja kebebasan berkumpul dan mendirikan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya.
Namun, secara harfiah, kata demokrasi tidaklah berarti kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Hal-hal demikian mungkin dapat diharapkan dari sistem demokrasi, tetapi tidak merupakan unsur alaminya. Maka, orang Swedia keliru ketika mereka mengidentikkan ditikamnya menlu sebagai penikaman terhadap demokrasi Swedia. Orang Indonesia pun keliru ketika mereka menaruh kepercayaan total pada sistem politik ini.
Tentu saja, sebuah kata tidak pasti punya arti yang sama secara harfiah dan secara sosiologis atau historis. Inti dan arti sebuah kata dapat berubah sesuai dengan lingkungan geografis dan masa. Jika itu yang terjadi, maka kita dapat menemukan kata demokrasi yang tak lagi berarti sebagai ’kedaulatan rakyat’ saja, tetapi sudah berubah menjadi kata yang menggambarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterbukaan, kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kejujuran, kesetaraan, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan yang dapat kita amati bersama, kita melihat bahwa sistem demokrasi tidak menjamin semua hal tersebut, sedangkan sistem otoriter belum tentu menolak hal-hal itu. Maka, demokrasi bukanlah segalanya.
ANDRE MOLLER Mahasiswa S3 di Universitas Lund, Swedia, Sedang Menyelesaikan Disertasi tentang Bulan Suci Ramadhan di Indonesia dari Berbagai Sudut