Beberapa Masyarkat

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 27 April, 2021]

Pandemi sudah menggagalkan banyak rencana perjalanan dan kekecewaan umum makin menumpuk. Bagi kami yang sudah lama tidak bisa mengunjungi Indonesia, Nusantara serta penghuninya dalam khayal kami makin diagungkan dan dimuliakan. Begitu pula dengan makanan, minuman, tempat, kegiatan, dan cuaca yang kami rindukan. Untuk menyeimbangi rasa itu, ada gunanya mengingat-ingat beberapa ucapan yang selalu mengganggu, bagaikan goresan di zamrud.

Yang pertama adalah beberapa masyarakat. Sebenarnya tak ada yang salah dengan ucapan ini kalau digunakan secara tepat, tetapi cukup sering justru diselewengkan. ”Masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ’sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama’. Dengan kata lain, suatu masyarakat bisa berupa suatu golongan etnisitas, tetapi bisa juga terdiri dari orang-orang yang memiliki identitas lain yang sama. Maka, KBBI memberikan sejumlah contoh gabungan, seperti ”masyarakat adat, ”masyarakat perdesaan, dan ”masyarakat modern. Tesaurus Bahasa Indonesia (Tesamoko) memberikan tiga definisi yang sedikit berbeda: ’bangsa, khalayak’;  ’komunitas, paguyuban’; dan  ’asosiasi, kelompok’. Yang jelas, ”masyarakat” itu banyak orang. Oleh karena itu, saya selalu menggaruk-garuk di kepala saya yang gundul ketika membaca kalimat seperti ”saya bertanya kepada beberapa masyarakat”. Rupanya orang gemar menyamakan ”orang atau ”manusia dengan ”masyarakat, tetapi mereka menghilangkan arti ’dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan’. Kabupaten Pati, di laman resminya, menulis bahwa ada ”sejumlah masyarakat masih tak percaya Covid-19 dan bahwa ada ”masyarakat yang enggan memakai masker”. Kompas pun menulis bahwa ”masih ada beberapa masyarakat yang tak acuh dan tidak tahu tentang wacana pemindahan ibu kota negara”. Saya yakin, yang dimaksudkan bukan ”masyarakat, melainkan ”manusia atau ”orang.

Ucapan kedua yang sering mengganggu adalah air dalam kemasan yang juga cukup populer. ”Kemasan itu ’bungkus pelindung barang dagangan’ menurut KBBI dan ’bungkusan, buntelan, paket’ menurut Tesamoko. Di toko-toko dan restoran kita sebagai pelanggan kerap ditawari ”air (mineral) dalam kemasan”. Iyalah, tentu saja airnya diwadahi. Bagaimana kita bisa membelinya kalau tidak? Apakah para kasir hendak menuangkan air mineral ke dalam saku-saku kita? Atau hendakkah kita membawa bungkusan sendiri? Orang yang menjual bensin di pinggir jalan dalam botol tidak pernah mengaku bahwa mereka menjual ”bensin dalam kemasan dan kita juga tidak pernah jumpai penjual yang menyuguhkan ”coca-cola dalam kemasan” atau tukang bengkel yang menawarkan ”oli dalam botol. Kita juga tak pernah membeli ”gula dalam kemasan”, ”tepung dalam kemasan”, atau ”minyak goreng dalam kemasan”. Sudah tentu dagangan ini diberi wadah yang tepat.

Yang ketiga yang sering mengganggu saya juga berhubungan dengan toko dan perniagaan. Setiap kali hendak membayar di kas, pastilah si kasir dengan penuh percaya diri bertanya: ”Ada member-nya?” Saya selalu gelisah ketika menerima tanyaan ini. Bagaimana saya bisa tahu apakah ada anggota? Pasti ada, tetapi bukan urusan saya membawa daftarnya. Mengapa saya yang ditanya? Di lain pihak, saya pernah mendengar pelanggan lain menjawab ”nggak ada” ketika menerima tanyaan serupa, dan kenyataan itu langsung diterima si kasir.

Terakhir dan pendek-pendek saja, makanan berat itu juga ucapan yang mengganjal. Ya, ada ”makanan ringan, tetapi itu tidak berarti harus ada lawanan dalam bentuk tersebut. Cukuplah ”makanan atau ”makanan utama” kalau perlu dibedakan dengan hidangan-hidangan yang lain.

Nah, semoga ucapan-ucapan yang menjaili ini bisa mengurangi rasa rindu kami kepada Indonesia.

Leave a Reply