[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 29 September 2006.]
Ada ikatan di antara bahasa Arab dan agama Islam yang tak dapat disangkal. Di dalam Alquran sendiri berulang kali dijelaskan bahwa kitab suci ini diwahyukan dalam bahasa Arab supaya umat Islam dapat memahaminya dengan jelas (lihat misalnya Surat 43 ayat 2 dan Surat 12 ayat 2). Supaya kejelasan wahyu Ilahi ini tidak menjadi kabur, maka bahasa Arab juga sudah dijadikan sebagai bahasa ibadah (dengan beberapa perkecualian) dalam agama Islam. Dengan demikian, pembacaan ayat-ayat suci sewaktu salat dilafalkan dengan bahasa Arab (walau KH M Yusman Roy memiliki agenda lain beberapa bulan yang lalu), dan begitu pula dengan doa-doa yang dibacakan imam di masjid setelah salat.
Namun, khotbah Jumatan zaman kini umumnya disampaikan dengan bahasa Indonesia, meskipun belum lama bahasa Arab jadi bahasa utama untuk hal ini, dan pengajian Alquran dalam bahasa Arab tidak jarang diikuti oleh pengartian dalam bahasa Indonesia. Jadi, dalam hal ibadah pun tidak selalu bahasa yang dipakai harus bahasa Arab.
Nah, menjelang bulan Ramadan istilah-isilah berbahasa Arab semakin kerap dipakai dan perubahan ini terutama dapat dilihat di luar bidang ibadah praktis. Di mana-mana bahasa niribadah dibanjiri oleh bahasa Arab dan cukup sering, ormas Islamlah yang berdiri di baris terdepan dengan istilah-istilah ini. Mereka mengadakan sidang itsbat, membahas rukyatul hilal, hisab dan ijtima, dan ber-marhaban yaa ramadhan ria. Ini tentu saja ormas-ormas yang juga memiliki rais aam, lajnah tanfidziyah dan dewan syuro, dan mengadakan bahtsul masail dan lain-lain.
Pemakaian bahasa seperti ini yang bahasa Arabnya kental mungkin tidak apa-apa dalam rapat tertutup atau di antara para ulama yang sudah kenal baik dengan istilah-istilah ini. Namun, kalau ormas-ormas Islam di Indonesia punya harapan untuk tetap memiliki hubungan dengan rakyat biasa, dan saya yakin halnya begitu, saya kira arif jika istilah-istilah ini diganti atau diindonesiakan.
Membahas perbedaan di antara rukyatul hilal dan hisab dengan orang-orang biasa di Indonesia, misalnya saya menyadari, mereka sering mencampuradukkan kedua istilah ini, dan merasa tidak yakin ormas mana yang dukung gagasan yang mana. Mungkin lebih jelas kalau istilah seperti ”melihat bulan” dan ”menghitung posisi bulan” dipakai. Bahasa agama yang dikuasai bahasa asing (Arab) sering nggak nyambung dengan bahasa rakyat. Dan ini tentu pertentangan yang mendasar: ormas-ormas yang mewakili jutaan orang di Indonesia pakai bahasa yang kadang-kadang tidak dapat dipahami para anggotanya.
Akan tetapi, jika para ulama dan orang-orang terdidik tidak mau mengganti istilah-istilah ini dan terus mengotot pakai bahasa psuedo-Arab, maka tetap ada jalan lain. Jalan itu memang mustaqim dan hanya memerlukan sifat ngotot dan sedikit waktu saja. Karena kalau istilah-istilah ini disampaikan kepada telinga-telinga yang pada awalnya tidak memahaminya, maka akhirnya mereka pun akan sadar akan pengertiannya, atau setidaknya kira-kira begitu.
Tentu saja, begitu halnya dengan sejumlah istilah yang berasal dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, seperti salat, wudlu, jilbab dan masjid. Bedanya, istilah-istilah ini diperkenalkan karena tak ada bandingan yang tepat dalam bahasa-bahasa Nusantara pada waktu itu. Zaman kini sering ada. Dalam berbahasa agama, mungkin para ulama akan dibantu oleh kata-kata KH Zainuddin MZ yang beliau sampaikan dalam salah satu khotbahnya beberapa tahun yang lalu (berhubungan dengan tema lain): ”Perbaiki yang kurang, dan kurangi yang memang berlebihan”.
Kalau bahasa ibadah dalam beberapa instansi tetap harus bahasa Arab, maka itu tidak berarti bahasa sehari-hari juga harus dibumbui bahasa Arab agar terasa lebih dini. Selain mungkin tak dipahami orang biasa, dapat juga menyebabkan kekeliruan, seperti baru saja ketika kata dini seharusnya dipahami sebagai ”religius” dan tidak ada kaitannya dengan kata dini dalam bahasa Indonesia.
André Möller Pemerhati Bahasa, Tinggal di Swedia
Setuju Pak Moller, pencampuradukan seperti ini yang membuat saya sedih karena kadang terlalu berlebihan, termasuk juga untuk bahasa asing lain, selain bahasa Arab. Kalau memang tidak ada/susah dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia, baru istilah asing itu halal digunakan.
Salam kenal Pak Moller.