TIDAK diragukan lagi bahwa singkatan-singkatan seperti AC, VCD, DVD, dan TV sudah menjadi bagian integral dari bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Nusantara lain. Setiap hari singkatan tersebut kita temui di berbagai konteks. Setiap hari malah kita gunakan sendiri. Tentu ini sah-sah saja. Orang yang kreatif sekaligus menolak pengaruh bahasa Inggris yang terlalu dahsyat dalam bahasa Indonesia pasti dapat mengajukan alternatif lain yang lebih menusantara. Misalnya saja alat penyegar udara sebagai pengganti AC. Namun, masalah ini bukan topik kita di sini.
Saya lebih tertarik pada pelafalan singkatan-singkatan ini di Indonesia. Dari empat contoh yang saya ajukan di atas, tiga biasa dilafalkan dengan logat Inggris atau setidak-tidaknya keinggris-inggrisan: VCD, DVD, TV. Cobalah sendiri! Kita tidak mengatakan /ve-ce-de/, /de-ve-de/, atau /te-ve/, tapi lebih cenderung melafalkannya sebagai /vi-si-di/, /di-vi-di/, dan /ti-vi/.
Singkatan AC merupakan campuran kalau dilihat dari cara pelafalannya: A-nya dilafalkan dalam bahasa Indonesia, sedangkan C-nya dilafalkan dengan logat Belanda. Mengapa demikian? Tentu saja pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab dengan langsung dan singkat. Akan tetapi, saya kira kita semua -atau hampir semua-dapat sepakat bahwa /ve-ce-de/ dan seterusnya terdengar agak kuno, kampungan, dan tidak modern. Sedangkan yang sering-sering diburu rakyat Indonesia dewasa ini adalah kemodernan, kecanggihan, dan kekerenan di lingkungan urban.
Nah, meskipun argumen ini dapat kita anggap masuk akal, ada juga beberapa singkatan yang sangat erat hubungannya dengan kemodernan dan kehidupan urban yang tidak cocok dengan argumen itu. Singkatan yang paling mencolok adalah HP yang jelas-jelas berasal dari bahasa Inggris hand phone tapi dilafalkan dengan logat Indonesia /ha-pe/. Tidak pernah kita dengar ada yang menyebutnya sebagai /eich-pi/. Mengapa? Karena bunyi H-nya Inggris agak susah bagi lidah Indonesia dan lidah noninggris lainnya? Atau ada alasan lain lagi?
Di Indonesia sendiri pernah saya dengar ada yang menyebut alat komunikasi baru itu sebagai telepon genggam. Di telinga saya, sebutan ini terdengar cukup segar dan kreatif, tapi saya meragukan kemungkinannya dipakai meluas di Indonesia.
Pelafalan singkatan paling aneh yang pernah saya dengar di Indonesia berhubungan dengan salah satu kampus terkemuka di Yogyakarta. Yang saya maksudkan adalah UII. Singkatan ini tentu saja berasal dari Universitas Islam Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Meski begitu, mahasiswa-mahasiswinya sering kali menyebut kampusnya dengan /yu-i-i/. Dengan kata lain, U-nya dilafalkan dengan logat Inggris sedangkan kedua I-nya dilafalkan dengan logat Indonesia. Ketika melafalkan semua huruf itu dengan logat Indonesia /u-i-i/, saya diketawakan dan dianggap cukup kampungan. Kalau saya melafalkannya sepenuhnya dengan logat Inggris /yu-ai-ai/ tidak ada yang mengerti apa yang saya maksudkan.
Kasus UII tentu sangat berbeda dengan kampus lain di kota pelajar itu. UGM, UNY, dan IAIN, misalnya, semua dilafalkan sepenuhnya dengan logat Indonesia. Untung bagi mahasiswa IAIN sebab mereka pasti kesulitan kalau singkatan kampusnya harus diucapkan secara Inggris.
Kita dapat mengatakan bahwa singkatan-singkatan di Indonesia diucapkan dalam berbagai bentuk. Ada yang dilafalkan sepenuhnya dengan logat Inggris, ada yang pakai logat Indonesia saja, dan malah ada yang campur-campur. Saya tidak menganggap satu cara benar dan satunya salah, seperti dapat dikira sebagian orang. Saya hanya menarik perhatian para pembaca pada sebuah masalah kebahasaan yang saya anggap cukup menarik. Sebagai bahan perbandingan dapat saya kemukakan bahwa di negeri saya, Swedia, semua (?) singkatan yang berasal dari luar negeri sudah menswedia. Maka, dengan penuh percaya diri kami mengatakan /de-ve-de/, /ve-se-de/, dan /te-ve/. Mungkin saja orang lain menganggap kami semua kampungan.
André Möller, Mahasiswa S3 di Lund, Swedia, Sedang Menulis Disertasi tentang Bulan Ramadan di Indonesia
nice article
setuju banget bro 🙂