[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 12 April 2007.]
Jauh sebelum kami berkunjung di Indonesia beberapa bulan yang lalu, saya sudah memutuskan untuk tak cepat terbawa emosi ketika melihat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bergaul dengan ria dan liar. Saya sudah yakin pergaulan ini menjadi-jadi dan tak kenal batas kewajaran.
Tak ada gunanya, saya berkata kepada diri sendiri, menjadi kebakaran jenggot hanya karena sejumlah kosakata dan bentuk tata bahasa Inggris berdansa di tengah-tengah kata dan gramatika Indonesia. Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini. Tak ada gunanya perduli.
Sebelum berangkat saya bahkan punya pikiran bahwa saya sendiri bisa ikut-ikutan nginggris guna tampil lebih keren. Setidaknya sesekali biar anggota keluarga lain tak terlalu malu. Dengan demikian, situasi bahasa tak akan menjengkelkan , tapi mungkin malah menyenangkan.
Itu teorinya. Praktiknya lain. Sesudah beberapa hari di Indonesia, saya sudah yakin bahwa saya tak bakal bisa menyelipkan kata-kata Inggris ke dalam kalimat berbahasa Indonesia. Mengapa? Apakah memang tidak bisa berbahasa Inggris? Ya bisa, tapi saya tak bisa mengerti persisnya kapan dan dalam situasi bagaimana saya harus nginggris.
Mungkin sekarang sebagian pembaca mengatakan: “Lo, itu kan easy sekali!” Bisa juga pembaca lain bilang: “Lo, that’s mudah sekali!” Ada juga yang berkata: “Lo, itu kan very mudah!” Yang benar menurut logika bahasa Inggronesia, saya tidak tahu. Mungkin semua benar, atau semua salah.
Mertua saya senang membuat kue. Beliau tentu saja punya koleksi resep dari sejumlah sumber. Salah satu sumber ini sebuah tabloid wanita. Di situ saya menemukan resep “ cake wortel”. Bukan “kue carrot”, “wortel cake”, “carrot kue”. Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”? Dan lebih penting lagi, bagaimana cara tahu yang mana yang “benar”?
Jika pernah membuka situs Kompas di internet (www.kompas.com), Anda mungkin pernah melihat tulisan kecil-kecil di bagian bawah, yang menyediakan sejumlah informasi mengenai koran ini. Saya kira mungkin terdapat beberapa kunci bahasa Inggronesia di sana, koran terbesar di negeri ini.
Di sana orang dapat membaca tentang sejumlah “Subject” seperti “nasional”, “internasional”, dan “hiburan”. (Menarik juga sebuah subyek disuguhi dengan kata sifat.)Di sana ada juga rubrik “Interes”, entah bahasa apa itu. Adapun “Kontak Jodoh”, “Informasi Kerja”, dan (tiba-tiba) “News by Email”. Kemudian ada informasi “Tentang Kami”, “Iklan”, dan (lagi-lagi tiba-tiba) “Subscribe”. Yang paling menarik ialah rubrik yang disuguhi hampir terakhir:”Elektronik Edisi”. Kedua kata ini sudah dalam bentuk bahasa Indonesia, tapi susunanya mengikuti pola Inggris. Barang tentu susunan Indonesia yang lebih lumrah dipakai ialah “Edisi Elektronik”.
Seperti sudah saya katakan, saya tidak akan kebakaran jenggot hanya karena pergaulan bebas ini. Dan memang jenggot saya masih nempel seperti sebelum berangkat. Namun, saya benar-benar tak mengerti kenapa kedua bahasa ini harus bergaul dengan begini karena hasilnya hanya kebingungan dan ketidakjelasan. Setidaknya bagi saya yang tak bisa memahami bahasa hibrida ini. Nanti kalau ada mata kuliah bahasa Inggronesia akan saya follow dengan senang hati. Sampai later!
ANDRE MÖLLER
Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia
haha…saya cinta blog ini.
Kenapa baru sekarang saya ketemu bahasa.dalang.se?!