[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 9 Agustus, 2014.]
Berhubung dengan salah satu tulisan saya di koran ini belum lama ini, seorang kawan menanyakan bentuk yang mana yang saya anggap benar: ”kali pertama” atau ”pertama kali”. Dalam tulisan itu memang tertulis ”kali pertama”, yang menunjukkan susunan kata yang tidak selumrah ”pertama kali”. Bagi seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Indo-Eropa, lebih tepatnya Jermanik Utara, susunan kata dalam bahasa Indonesia jadi salah satu rintangan yang mesti dilalui ketika belajar bahasa asing ini. Dibutuhkan waktu untuk membiasakan diri menempatkan kata sifat di belakang kata benda, misalnya. Barang tentu namanya ”bola merah” dan ”cewek cantik” walaupun insting nurani berteriak ”merah bola” dan ”cantik cewek” sebelum fase ini berhasil dilalui. Ketika akhirnya hal ini sudah mengakar di dalam kepala maupun di ujung lidah si murid bahasa Indonesia, maka akan muncul beberapa kekecualian yang membuat buncah dan bingung. Mari, kita perhatikan beberapa di antaranya.
Sup sayur tanpa bunga kol pasti terasa hambar. Bunga kol tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di bawah lema bunga dan diartikan sebagai kembang kol. Di bawah lema kembang muncullah penjelasan yang lebih lengkap dan nyaris puitis: ’sayuran berdaun besar memusar, gumpalan perbungaannya padat membongkol membulat seperti bola, berwarna putih atau krem, pada gagang pendek mendaging’. Menariknya, setelah penjelasan lengkap ini tertulislah satu kata kecil lagi, yakni blumkol. Kata ini berasal dari bahasa Belanda, bloemkool, dan dalam bahasa Swedia padanan kata ini adalah blomkål. Kata ini tentu saja terdiri dari dua bagian, bloem dan kool dalam versi Belanda tadi, yang artinya tidak lain selain bunga dan kol. Maka, bahasa Indonesianya menjadi bunga kol atau kembang kol. Hanya saja, si penerjemah, yakni masyarakat pada zaman penjajahan, rupanya terlampau tergesa-gesa karena ia lupa bahwa susunan kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Eropa tidak sama, melainkan malah terbalik dalam beberapa instansi. Dengan kata lain, bloemkool sewajarnya mengambil rupa kol bunga atau kol kembang dalam bahasa Indonesia supaya taat pada tata bahasa yang baku.
Sebuah contoh lain adalah perdana menteri. Kata ini sudah jadi bagian integral dari bahasa Indonesia dan dengan setia mengikuti bentuk bahasa Inggris: prime minister. Lagi-lagi, penerjemahannya rupanya tergopoh-gopoh dan mengingkari tata bahasa bahasa Indonesia. Kita mengenal menteri luar negeri, menteri perdagangan, dan sejumlah menteri yang lain. Kalau kita mau mengikuti pola ini, dan memang seharusnya kami mengikutinya, Lee Hsien Loong di Singapura sepantasnya kita gelari menteri perdana. Menurut saya, selain lebih benar secara tata bahasa, kedengarannya juga agak lebih wah.
Izinkanlah saya sampaikan satu contoh lagi yang masih bisa kita selamatkan dari penyangkalan gramatikal. Kata itu adalah speedboat yang kerap muncul dalam kehidupan saya setahun yang lalu ketika kami sekeluarga mengunjungi Kepulauan Karimunjawa nan indah, memikat, dan menawan. Ada pilihan feri dan speedboat kalau mau ke sana. Jangan coba pesan jenis transportasi yang lain! Nah, sebelum kata speedboat ini meng-Indonesia (sebagai spidbot, barangkali), mari kita merangkul gabungan kata kapal cepat—juga untuk menghindari cepat kapal—yang sudah setia pada tata bahasa dan juga mudah dimengerti bagi semua lapisan masyarakat. Gampang, ya? Hanya dibutuhkan langkah pertama, bukan pertama langkah.