“Smörgåsbord” dan “Fartlek”

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 12 Maret 2016]

Swedia telah mengekspor sejumlah hasil karyanya ke Indonesia seperti mobil, barang elektronik, dan mebel. Kami juga mengekspor sejumlah ide dan pendapat, misalnya dalam bidang hak asasi manusia dan pengelolaan sampah. Namun, kami bukan bangsa yang banyak mengekspor kata atau ucapan, dan ini tentu antara lain terkait dengan ketidakberhasilan kami menggeluti dunia penjajahan dulu itu. Kami juga tidak banyak menghasilkan pemikir atau pemuka agama, misalnya, yang menyebarkan ide-idenya—dan, dengan demikian, bahasanya—ke mana-mana.

Meskipun demikian, ada beberapa perkecualian. Salah satunya adalah kata yang, setahu saya, diperkenalkan oleh Gus Dur yang menjabat sebagai presiden kala itu, yakni kata ombudsman. Kata ini belum muncul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi diartikan dengan cukup tepat oleh Wikipedia Indonesia sebagai ”pejabat atau badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat”.

Maka, di Indonesia ada ORI, atau Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya: Komisi Ombudsman Nasional), yang antara lain siap menerima sejumlah keluhan yang melibatkan dugaan maladministrasi. Di Swedia ada macam-macam ombudsman: ombudsman anak, ombudsman kesetaraan, ombudsman difabel, dan seterusnya. Bisa dikatakan, mereka adalah perwakilan rakyat.

Smörgåsbord, atau lebih sering: smorgasbord, adalah sebuah kata berakar Swedia lain yang sering muncul dalam bahasa-bahasa non-Swedia. Sayangnya, Indonesia rupanya belum mau menerima kata ini. Artinya kira-kira sama dengan rijstaffel (”meja nasi” jika diterjemahkan dari bahasa Belanda, sedangkan smörgåsbord berarti ”meja roti”), yakni sebuah hidangan berupa prasmanan. Sesekali disebut buffet karena mengikuti jejak bahasa Inggris, tapi jangan lupa bahwa bufet dalam bahasa Indonesia adalah lemari atau warung kecil di stasiun, misalnya. Malulah kalau siang-siang minta makan bufet dan kemudian diantarkan ke Gambir.

Nah, kata smörgåsbord ini tidak hanya diartikan secara harfiah dan melibatkan makanan, tapi bisa dipakai dalam sejumlah konteks yang lain pula. Barangkali ada yang menganggap demokrasi, misalnya, sebagai sebuah smörgåsbord, di mana hanya bagian-bagian yang enak diambil dan ”disantap”, sedangkan bagian-bagian yang kelihatan kurang lezat ditinggalkan. Hak-hak untuk kaum minoritas, misalnya, bisa jadi bagian yang sering tidak dicari-cari politikus tertentu. Lama-kelamaan, tumpukan itu akan jadi terlalu besar dan membusuk, tapi tidak bakal hilang dengan sendirinya. Bagaimanapun juga, kata smörgåsbord barangkali bisa memperkaya bahasa Indonesia.

Sebuah kata lain yang berasal dari bahasa Swedia adalah kata fartlek. Kata ini sudah lumayan sering muncul di Indonesia, tapi hanya dalam komunitas tertentu. Komunitas tertentu itu adalah komunitas pelari. Setiap pelari tahu bahwa latihan lari itu perlu divariasikan supaya pelari berkembang.

Nah, apakah itu fartlek? Secara harfiah kata ini berarti permainan kecepatan, dan mengacu pada variasi dalam kecepatan pada sebuah latihan lari, atau lelarian. Bentuk latihan ini tidak sekaku latihan interval, yang pada awalnya sudah memastikan baik kecepatan maupun jarak dalam sebuah latihan.Fartlek, di pihak lain, bisa jadi lelarian cepat dalam beberapa ratus meter, kemudian jadi lambat selama setengah kilometer, baru dipercepat lagi. Dan seterusnya. Dengan kata lain, pelari bebas bermain dengan kecepatan sesukanya. Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1930-an di Swedia oleh pelatih Gösta Holmér, dan setelah itu kata fartlek sudah menyebar ke sejumlah bahasa, termasuk bahasa Inggris, Belanda, dan Perancis. Tidak salah, rupanya, kalau KBBI mencantumkannya dalam edisi mendatang.

Leave a Reply