[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Februari 2016]
Ketika media sosial dan media tradisional mulai dipadati oleh ulasan mengenai arti dan makna tahun baru Imlek, yaitu Tahun Monyet Api, saya hampir terselak. Rugi sekali kalau kopi Nusantara yang sudah dibawa jauh-jauh ke luar negeri disia-siakan begitu. Namun, mengapa nyaris keselak? Karena begitu ironis, pikir saya, bahwa tahun baru ini yang digambarkan dengan warna terang dan penuh percaya diri disebut Monyet Api.
Monyet dan api, dalam benak saya, adalah dua entitas yang tidak merupakan satuan yang harmonis. Bahkan, monyet dan api adalah lawan dan musuh. Pandangan ini berlaku secara umum, dan juga secara khusus di Indonesia. Dalam paruh kedua tahun 2015 kita semua dapat menyaksikan bagaimana hewan-hewan, terutama monyet, diancam oleh api yang dihidupkan oleh oknum kurang bertanggung jawab di Kalimantan dan Sumatera. Bukan saja monyet yang diancam, manusia pun ikut menderita gara-gara impian berkabut mengenai kelapa sawit ini. Koran-koran di Eropa memasang gambar orang utan yang kehabisan tempat tinggal alaminya, dan terpaksa memandang masa depannya dengan mata yang suram.
Namun, tunggu sebentar. Apakah orang utan itu sejenis monyet? Benarkah kalau saya mengait-kaitkan orang utan yang saya saksikan sendiri di Taman Nasional Tanjung Puting bulan kemarin dengan Tahun Monyet Api? Dan apakah sebenarnya yang membedakan monyet dari kera?
Pertanyaan seperti itu membuat saya bergegas-gegas mengonsultasikan ilmu yang terkumpul di internet. Rupanya, bukan saya saja yang bingung. Salah satu pendapat yang sering muncul adalah bahwa monyet memiliki ekor, sedangkan kera itu tidak berekor. Sering kali juga ada pendapat yang mengatakan bahwa kera lebih cerdas dibandingkan dengan monyet. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, orang utan adalah sejenis kera. Dalam bahasa Inggris, kera sepertinya adalah ape, sedangkan monyet adalah monkey. Bagi orang Swedia, yang menyebut baik monyet maupun kera dengan istilah yang sama, yaitu apa, ini cukup membingungkan.
Mari kita konsultasikan Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Menurut kamus itu, monyet adalah “kera yang bulunya berwarna keabu-abuan dan berekor panjang, kulit mukanya tidak berbulu, begitu juga telapak tangan dan telapak kakinya”. Di lain pihak, kera diartikan baik sebagai “suku paling sempurna dari kelas binatang menyusui, bentuk tubuhnya mirip manusia, berbulu pada seluruh tubuhnya, memiliki otak yang relatif lebih besar dan lebih cerdas daripada hewan yang lain, termasuk hewan pemakan buah, biji-bijian, dan sebagainya” maupun sebagai “monyet, terutama yang berekor panjang”. Dengan kata lain, monyet adalah kera, dan kera bisa saja jadi monyet. Menariknya, baik pada monyet maupun kera (arti kedua) tercantum Macacus cynomolgus sebagai sebuah contoh. Jadi, hewan ini yang juga berkeliaran di hutan berapi di Kalimantan dan Sumatera adalah seekor monyet atau kera dalam arti kedua, yakni monyet juga, menurut KBBI. Agak memusingkan, tapi mungkin tetap masuk (sejumlah) akal.
Kalau orang utan itu sendiri apa menurut KBBI? Ya, dia adalah “kera besar dan kuat”.
Nah, dengan latar belakang ini, mari kita masing-masing merenungkan dan menjelaskan kepada diri sendiri mengapa tidak ada cinta kera ataupun monyet sakti.
Akhirulkalam, semoga pada Tahun Monyet Api ini, pemerintah Indonesia bisa lebih tegas dan menyelamatkan baik monyet dan kera maupun orang utan dan orang (hutan) dari api. Gunung berapi adalah sumber kebanggaan, hutan berapi adalah sumber kemaluan. Gong xi fa cai!