[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 21 November 2015]
Musim gugur di tanah air penulis sudah mendekati detik-detik terakhir tahun ini dan, dengan begitu, musim lomba lari pun bisa dinyatakan selesai. Sebagian orang akan berlari sepanjang musim dingin tanpa peduli akan salju atau suhu yang menyengat, dan sebagian lain baru akan mengeluarkan sepatu larinya kalau diiringi bunga-bunga yang mekar nanti. Yang pasti, di mana-mana akan diadakan lomba kalau musim semi telah tiba, seolah-olah kami harus bergegas-gegas berlari sebelum musim dingin tiba lagi.
Dengan musim lomba yang pendek, setiap pelari ingin berprestasi sebaik mungkin. Selain bersandar pada latihan yang teratur, ada pula yang bergantung pada macam-macam tumbuh- tumbuhan atau vitamin yang dipercaya dapat membantu dalam usaha lari ini. Salah satu tumbuh-tumbuhan yang sedang naik daun di lingkungan pelari akhir-akhir ini adalah Beta vulgaris yang merah. Konon, kandungan nitrat dalam sayur-sayuran ini dapat membantu tubuh menyerap oksigen, dan konon kaki para pelari akan lebih kuat sedikit.
Ketika saya mau menjelaskan hal ini kepada seorang kawan dari Indonesia, saya menyadari bahwa rupanya tak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk sayur lezat ini. Ini bukan hal yang aneh mengingat bahwa Beta vulgarisini tidak (setahu saya) dibudidayakan di Nusantara. Juga tidak dijual di pasar kumuh ataupun toko mengilat (setahu saya lagi). Ketika nama bahasa Inggrisnya disebut, yakni beetroot, sebagian orang tahu apa yang dimaksudkan. Namun, sebagian lain masih bergeleng-geleng. Untuk menghindari penggeleng-gelengan ini, orang Malaysia menciptakan padanan yang terasa lumayan pas, yakni ubi bit merah. Nah, setiap orang tahu ubi itu apa, yaitu sesuatu yang dapat dimakan yang tumbuh di dalam tanah. (Bagian atas tanah pun sering bisa dimakan.) Bit-nya orang Malaysia tentu saja penerjemahan langsung dari bahasa Inggrisnya beet. Apakah pas dan cocok? Setidaknya lebih baik daripada tidak ada padanan sama sekali.
Dalam bahasa Indonesia, di lain pihak, bit berarti ’satuan informasi terkecil dl sistem informasi’, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Anehnya, pas di bawah lema bit dalam kamus akbar ini terdapat lema bitgula yang artinya tidak lain selain ‘tanaman daratan tinggi yang dibudidayakan karena umbi akarnya memiliki kadar gula yang tinggi untuk dibuat gula’. Ini tentu saja saudaranya si ubi bit merah yang dalam bahasa Inggris disebutsugar beet.
Orang Malaysia, di pihak lain, sepertinya sering memanggil sayuran ini dengan sebutan akar manis. Saya juga melihat bit gula dalam tulisan berbahasa Malaysia, tapi tentu saja ditulis secara terpisah. Bitgula-nya KBBI (hanya satu kata yang tidak terpisah) terasa cukup aneh, dan asal-usul katanya jadi susah ditebak atau dipahami. Juga, orang boleh bertanya-tanya, mengapa tidak ada bitmerah, kalau ada bitgula. Ubi ada banyak dalam bahasa Indonesia, termasuk ubi belanda (yakni kentang), tapi saya tidak menemukan ubi yang merupakan padanan bagi Beta vulgaris yang merah (rödbeta dalam bahasa Swedia, bagi yang tertarik).
Terus bagaimana? Pertama, mulai sekarang saya akan memasukkan lema (ubi) bit merah dan (ubi) bit gula dalam kamus mental saya karena akan cukup berguna dalam kehidupan sehari-hari di mana kedua sayur-sayuran ini dibudidayakan. Kedua, saya sekarang tidak berani tidak mengonsumsi bit merah ini sebelum lomba lari, tapi kalau ada efek atau hasil yang dicari, ya masih dapat diragukan. Ketiga, bayam sepertinya adalah substitut yang baik bagi pelari Nusantara.