[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 17 Januari, 2014.]
KIRANYA susah membayangkan suatu bangsa yang lebih menggemari spanduk daripada bangsa Indonesia. Ada kumpulan spanduk di setiap sudut jalan. Tiada peristiwa, hal, atau keadaan yang tidak bisa digarisbawahi oleh spanduk. Ada spanduk berisikan ucapan selamat (Selamat Natal! Selamat Lebaran! Dirgahayu RI! Selamat Datang!), pesan politik (Pilihlah aku! Hentikan korupsi! Saya bisa menyejahterakan Anda!), pesan moral (Shalat sebelum dishalatkan! Patuhilah aturan lalu lintas! Hormatilah penganut agama lain!), ajakan (Hadirilah seminar ini!), iklan (Minumlah produk ini! Belilah pulsa sebanyak-banyaknya!), dan lain-lain. Di dunia maya pun situasinya sama: di setiap layar ada spanduk digital yang menyampaikan sejumlah pesan yang jauh lebih sering mengganggu daripada bermanfaat.
Kata apa ini, spanduk? Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa menjelaskan sebagai ’kain yang direntangkan yang berisi slogan, propaganda, atau berita yang perlu diketahui umum’, ’kain rentang’. Penjelasan ini, menurut saya terlalu permisif sebab ada kata-kata yang sepertinya ketinggalan. Barangkali lebih baik begini: ’kain yang direntangkan yang berisi slogan, propaganda, atau berita yang si pemasang merasa perlu diketahui umum’. Terus terang saja, nyaris 100 persen pesan spanduk-spanduk yang terpasang sepanjang jalan bersifat tidak perlu diketahui umum.
Kata spanduk berasal dari bahasa Belanda, yakni spandoek. Doek berarti ’kain’, span berarti ’merentangkan’. Dilihat dari sudut etimologi, penjelasan KBBI mesti dinilai cukup bagus. Sebuah spanduk adalah kain yang direntangkan.
Hanya saja, penjelasan ini terlampau netral, bahkan permisif. Karena, penjelasan ini tidak mengandung unsur polusi visual yang merupakan bagian integral dari setiap spanduk. Yang saya maksud dengan polusi visual adalah pencemaran penglihatan. Perlu kami akui bahwa ada macam-macan jenis pencemaran: pencemaran penglihatan, pencemaran udara, pencemaran suara, dan seterusnya. Spanduk dengan gencar mencemari penglihatan. Lihat saja di kota-kota atau bahkan desa-desa di Indonesia: pemandangan indah nyaris ditutupi atau dicemari oleh spanduk. Di kota besar situasinya sudah gawat. Daerah bebas spanduk menyempit setiap hari.
Sejujurnya, ada spanduk yang berguna dan tidak mengganggu. Jadi, bagaimana kita bisa membedakannya secara bahasa? Mari kita mengarahkan perhatian kita kepada kata spam yang tercantum dalam KBBI edisi terakhir. Spam adalah ’surat yang dikirim tanpa diminta melalui internet, biasanya berisi iklan’. Sebagai pengguna Internet, kita semua pasti sudah menerima surat spam dengan macam-macam pesan dan iklan. Nah, bagaimana kalau saya memberanikan diri mengusulkan pembentukan kata baru dalam bahasa Indonesia supaya kami bisa membedakan spanduk berguna dari spanduk sampah? Kata yang saya usulkan adalah spamduk. Ini gabungan kata spam dan spanduk. Penjelasan dalam kamus kira-kira bisa berbunyi: ’kain yang direntangkan tanpa diminta sepanjang jalan, biasanya berisi iklan’. Dengan demikian, masalahnya bisa dikatakan sudah dituntaskan dari segi bahasa. Dari segi kenyataan, lain ceritanya. Pihak berwenang juga penduduk setempat tentu saja perlu menanangi maraknya pemasangan spamduk ini. Dengan menanangi, saya sebenarnya maksudkan ’melawan dengan keras’. Nusantara tidaklah indah kalau penglihatan sawah-sawah ditutupi gambar politikus yang minta suara pemilih, hanya untuk diperiksa KPK beberapa bulan kemudian.
Sadiss Om.. emang begah juga baru melek trus buka pintu ternyata di rimbunan pohon bersangkut-sangkutan spa(m)duk siwalan itu.. Kalo masih disekitar rumah sih mending dicabutin, lumayan buat alas pas ngopi, atau buat anak2 gaple’an..
Pegiat anti-Sampah visual tentu mendukung kandungan artikel ini. Mantap, Pak.
Wah, kalau saya pasang spamduk nanti Bung Andre turunkan, kecuali saya pasang spanduk yang menurunkan biasanya dinas kebersihan, satpol PP, atau masyarakat. (Bung Andre menulis, … kata spam yang tercantum dalam KBBI edisi terakhir. Menurut hemat saya, pemakaian kata terakhir sering disamakan dengan terbaru. Padahal, maksudnya edisi terbaru atau tuliskan saja edisi keempat, kecuali KBBI tidak diterbitkan lagi, barulah kata terakhir cocok untuk KBBI itu.) Tabik.
Terima kasih, Pak Djony. Seharusnya “terbaru”. 🙂